A. LATAR BELAKANG
Kegagalan
yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era
globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun
akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan
berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara di dunia (termasuk
negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek
kapitalisme.
Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan.
Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan.
Dengan
banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang
benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat
kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat
penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi
utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai
mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara
non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat. Pada dasarnya etika
(nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal
ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis
mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam
khususnya dalam upaya revitalisasi/menghidupkan perdagangan Islam sebagai
jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi, baik kapitalisme maupun sosialisme,
menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari
al-Qur’an maupun as-Sunnah, dan merupakan suatu hal yang harus dilakukan.
Dengan kerangka berpikir demikian, artikel ini akan mengkaji permasalahan etika
bisnis dalam ekonomi islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor
riil.
B. KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM
Secara etimologi,Etika (ethics)
yang berasal dari bahasa Yunani ethikos yang mempunyai beragam arti. Pertama,
sebagai analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, aturan-aturan
moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke
dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan
yang baik secara moral.
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya
yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang
seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal
dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau
berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut
kamus al-munawwir). Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib
al-Qur’an, at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari
keuntungan. Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib, fulanun tajirun bi
kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang
diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada
ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan
perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah; 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan
dalam pengertian umum. Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa bisnis dalam
Al-Qur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan
hanya bertujuan mencari keuntungan material semata, tetapi bersifat material
sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat
immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan semata manusia
tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah swt, bahwa bisnis harus
dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan
perjanjian-perjanjian, bisnis juga tidak
boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan, hanya karena memperoleh
keuntungan.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa etika merupakan perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar
dari apa yang salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang
melibatkan pelaku bisnis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa,
Etika bisnis adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik
sebagai institusi atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan stakeholdersnya.
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman
kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi,
transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika
bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar
pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan benar, hanya dengan
cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap
dunia bisnis. Etika bisnis secara umum menjelaskan orientasi terhadap bisnis,
dan mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang
secara bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis
dalam bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam islam
memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia
untuk mencari keridhaan Allah swt. Bisnis tidak hanya bertujuan jangka pendek,
individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika,
tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab
pribadi dan social, masyarakat, Negara dan Allah swt. Dasar hukum dari hal
tersebut bisa kita lihat dalam QS. Al Baqarah : 282, An Nisa' : 29, At Taubah :
24, An Nur : 37, As Shaff : 10.
C.
FUNGSI
DAN TUJUAN ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam
hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam aktivitas
bisnis. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam
mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, diantaranya
yaitu :
1. Membangun
kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis
dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar
melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2. Kode
ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku
bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat,
dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3. Kode
etik harapanya bisa digunakan sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan
persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4. Kode
etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara
sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang
dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.
D. BEBERAPA TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
1. Etika
Dalam Perspektif Barat Dalam sistem etika Barat, ada tiga teori etika yang akan
dibahas, antara lain :
a. Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama, konsep Utility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama, konsep Utility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Yang
kedua, yaitu teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice) atau keadilan
yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah perbuatan itu
dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan jasa berdasarkan
pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar keadilan. Dalam
hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila berakibat pada pemerataan atau
kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga konsep ini berfokus pada metode
distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya, kebutuhannya, usahanya, sumbangan
sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran hasil yang dapat meningkatkan
kerjasama antara anggota masyarakat.
b. Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan "hasil" atau "konsekuensi" seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan "hasil" atau "konsekuensi" seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam
teori ini terdapat dua konsep, yang pertama yaitu Teori Keutamaan (Virtue
Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip yang secara
universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik bagi manusia
untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan manusia
saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan
akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan. Kedua,
Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan
etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c. Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1) Personal
Libertarianism
Dikembangkan
oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan
distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua
terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori
ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan
individu.
2) Ethical
Egoism
Dalam
teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan
keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang
atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang
baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal
ini adalah yang bersangkutan.
3) Existentialism
Tokoh
yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar
perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar
salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih
prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya
menjadi.
4) Relativism
Teori
ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu
tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada
kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai
kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
5) Teori
Hak (right)
Nilai
dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus
didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu
memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2. Etika
Bisnis dalam Perpektif Islam
Masyarakat
Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal
ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan
kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar
kebenarannya. Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an" sebagai dasar
kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
a. Teleologi
Utilitarian merupakan teori yang memandang hak individu dan kelompok adalah
penting dan tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b. Distributive
Justice adalah toeri yang mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada pada
harta orang kaya.
c. Deontologi
adalah teori tentang niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.
Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik,
maka tetap tidak baik.
d. Eternal
Law dalam Islam yaitu Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca
wahyu dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam
mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah.
e. Relativisme
dalam Islam yaitu perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan
dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f. Teori
Hak dalam Islam yaitu menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan
menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima.
Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.
E.
KETENTUAN
UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1.
Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam
hal ini adalah kesatuan sebagaimana tertera dalam konsep tauhid yang memadukan
keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik,
sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi
dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan
keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar
pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun
horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.
Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam
sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat
curang atau berlaku dzalim. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S.
al-Isra’: 35)
Dalam
beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak
terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang beriman’ hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil lebih
dekat dengan takwa”.
3.
Kehendak Bebas (Free
Will)
Kebebasan
merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu
tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak
adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya
dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk
terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tidak terbatas dikendalikan
dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat,
infak dan sedekah.
4.
Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan
tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak
menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan
keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara
logis.
5.
Kebenaran
Kebenaran
dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan,
mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis
kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi
proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan
maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.
F.
PANDUAN
RASULULLAH DALAM ETIKA BISNIS
Rasululah
SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya
ialah:
1. Bahwa
prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam ajaran Islam, kejujuran
merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat
menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda: “Tidak
dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia
menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia
bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap
jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di
sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2. Kesadaran
tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak
hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang
diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada
sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis.
Tegasnya, berbisnis bukan mencari untung material semata, tetapi didasari
kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3. Tidak
melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat melarang para pelaku bisnis
melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis
riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis
riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang
yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti
di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis
saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya
meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun
keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
4. Ramah-tamah.
Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi
Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan
toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5. Tidak
boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik
membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian
melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual
untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik
orang lain untuk membeli).
6. Tidak
boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi
Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan
maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq
‘alaih).
7. Tidak
melakukan ihtikar/menimbun. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam
masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan
keuntungan besar pun diperoleh).
8. Takaran,
ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan
tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang
curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi” ( QS. 83: 112).
9. Bisnis
tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang
yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan
shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati
dan penglihatan menjadi goncang”.
10. Membayar
upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah
upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini
mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran
upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
11. Tidak
monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis yang membenarkan
monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan)
individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan
kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk
keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang
dalam Islam.
12. Tidak
boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang
dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan
melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik.
Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras,
karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras.
13. Komoditi
bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram,
seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan
“patung-patung” (H.R. Jabir).
14. Bisnis
dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang
batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara
kamu” (QS. 4: 29).
15. Segera
melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim
yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik
kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16. Memberi
tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi
Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang
atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada
hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
G. Kesimpulan
Dari
artikel diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa dalam berbisnis harapanya bisa
menerapkan prinsip-prinsip etika dalam islam, seperti kejujuran, kesadaran
tentang signifikansi sosial, tidak melakukan sumpah palsu, ramah-tamah, tidak
berpura-pura menawar dengan harga tinggi, tidak boleh menjelekkan bisnis orang,
takaran yang pas, tidak menggangu kegiatan ibadah kepada Allah, membayar upah
sebelum kering keringat karyawan, tidak monopoli, tidak melakukan bisnis dalam
kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak
kehidupan individu dan social, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang
suci dan halal, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan, menyegerakan
melunasi kredit yang menjadi kewajibannya, memberi tenggang waktu apabila
pengutang (kreditor) belum mampu membayar, bersih dari unsur riba. Dari hal
tersebut kita juga perlu memperhatikan ketentuan umum berbisnis dalam ekonomi
islam, yaitu Kesatuan (Tauhid/Unity), Keseimbangan (Equilibrium/Adil),
Kehendak Bebas (Free Will), Tanggungjawab (Responsibility),
Kebenaran.
Semua
yang ada didunia ini tidak ada yang bisa terlepas dari muara atas kekuasaan
Allah SWT. Yang mana setiap perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak
disengaja, harapanya bisa didasari atas mencari keridhoan Allah semata. Seperti
dikatakan Ghazali, “bahwa dunia hanyalah kendaraan semata. Jangan sampai karena
indahnya aksesori kendaraan, tujuan
perjalanan (akhirat) menjadi terlupakan“.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI. 1985
Ahmad,
Mustaq Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)2001.
Dani
hidayat, bulughul marom min adilatil akhkam (tasikmalaya : pustaka al hidayah)
2008
Http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/etika-bisnis-dalam-islam.html.
Ilyas ismail, Buletin jum’at
Hidayah, edisi 328 16 Nopember 2012
Sofyan Efendi. Hadits web. (Yogyakarta, 22
September 2011, pukul 19.00 WIB)