05 April 2013

ELASTISITAS



A.      Pengertian Penduduk
Penduduk atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua, yang pertama yaitu Orang yang tinggal di daerah tersebut, sedang yang kedua yaitu Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Sedangkan dalam sumber lain didefinisikan bahwa penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan menetap. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Masalah-masalah kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonmi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial.
B.     Landasan Kebijakan Penduduk
  1. Kependudukan, atau dalam hal ini adalah penduduk, merupkan pusat dari seluruh kebijakan dan program pembangunan yang dilakukan. Dalam GBHN dengan jelas dikemukakan bahwa penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek pembangunan maka penduduk harus dibina dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak pembangunan. Sebaliknya, pembangunan juga harus dapat dinikmati oleh penduduk yang bersangkutan. Dengan demikian jelas bahwa pembangunan harus dapat berpartisipasi aktif dalam dinamika pembangunan tersebut. Sebaliknya, pemabngunan tersebut baru dapat dikatakan berhasil jika mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk dalam arti yang luas.
  2. Keadaan atau kondisi kependudukan yang ada sangat mempengaruhi dinamika pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai, akan merupakan pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan tingkat kualitas yang tinggi, menjadikan penduduk tersebut hanya sebagai beban bagi pemabngunan nasional. Iskandar (1974) memperkirakan bahwa tanpa adanya program pengendalian pertumbuhan penduduk maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 akan berjumlah 237 juta jiwa. Kenyataannya jumlah penduduk pada tahun tersebut adalah sekitar 194 juta jiwa. Dengan demikian program pengendalian pertumbuhan penduduk telah berhasil melakukan ‘saving’ untuk bebagai pengeluaran bagi sekitar 43 juta jiwa penduduk Indonesia. Pengeluaran tersebut dialihkan kepada program lain yang bermanfaat untuk peningkatan kualitas penduduk seperti kesehatan dan pendidikan.
  3. Dampak perubahan dinamika kependudukan baru akan terasa dalam jangka yang panjang. Karena dampaknya baru terasa dalam jangka waktu yang panjang tersebut, seringkali peran penting penduduk dalam pembangunan terabaikan. Sebagai contoh, beberapa ahli kesehatan memeperkirakan bahwa krisis ekonomi dewasa ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan seseorang pada 25 tahun kedepan atau satu generasi. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kondisi sumber daya manusia Indonesia pada generasi mendatang, 25 tahun setelah tahun 1997. demikian pula, hasil program keluarga berencana yang dikembangkan selama 30 tahun yang lalu (1968), baru dapat dinikmati dalam beberapa tahun terakhir ini. Dengan demikian, tidak diindahkannya dimensi kependudukan dalam kerangka pembangunan nasional sama artinya dengan ‘ Menyengsarakan’ generasi berikutnya.
C.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pertumbuhan Penduduk
  1. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk Indonesia menurut hasil sensus 1971 ada­lah kira-kira 119,4 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk sebesar ini maka Indonesia termasuk salah satu dari lima negara di dunia dengan jumlah penduduk yang tinggi setelah RRC, India, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Bilamana diketahui bahwa menurut sensus 1930 jumlah penduduk Indonesia pada  waktu itu adalah kira-kira 60 juta jiwa maka dalam waktu empat puluh tahun jumlah penduduk telah menjadi dua kali lipat.
Ang­gapan ini mungkin tidak seluruhnya tepat. Adanya usaha pem­bangunan mungkin saja menimbulkan perobahan di dalam  angka-angka kematian maupun kelahiran. Selanjutnya di dalam data-data dasar hasil sensus terdapat "under enumeration" pada berbagai kelompok umur, khususnya dalam kelompok umur 0-4 tahun. Jumlah anak yang tercatat dalam sensus lebih sedikit dari jumlah yang sebenarnya. Kesalahan pelaporan umur juga terjadi pada kelompok umur penduduk lainnya.  Adanya kecenderungan memilih umur berakhiran 0 dan 5 merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kesalahan dalam pelaporan umur.
  1. Pertumbuhan penduduk
Faktor terpenting di dalam kependudukan Indonesia yang menimbulkan masalah utama di dalam pembangunan adalah adanya tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk disebabkan tetap tingginya tingkat kelahiran di satu pihak dan tingkat kematian yang semakin menurun di lain pihak.Turunnya tingkat kematian berarti pula bertambah banyak­nya jumlah orang dewasa dan dengan fertilitas yang belum turun banyak hasilnya adalah makin meningkatnya jumlah penduduk.
Migrasi internasional pada saat ini hampir semua negara di dunia mengawasi dengan ketat keluar masuknya penduduk. Di Indonesia juga dalam keadaan damai selisih antara jumlah penduduk pendatang dan keluar  dari wilayah Indonesia hanya di sekitar 2000 orang banyaknya pertahun.
  1. Struktur umur
Peningkatan jumlah penduduk akan berarti peningkatan  penduduk usia muda. Hal ini dapat diperhatikan pada struktur umur penduduk Indonesia pada tahun 1961 dan 1971. Pada tahun 1961, penduduk Indonesia yang berumur 24 tahun ke bawah merupakan 58,1 % dari jumlah keseluruhan penduduk. Dalam tahun 1971, prosentase penduduk yang berumur 24 tahun ke bawah telah meningkat menjadi 60,4% dari jumlah kese­luruhan. Peningkatan jumlah penduduk relatif terbesar terdapat di kalangan penduduk berumur 10 - 14 tahun dan 15 - 19 tahun. Hal ini adalah pencerminan dari pada jumlah kelahiran bayi yang besar di tahun 1950-an.
Kelompok umur
Penduduk 1973(juta)
Penduduk 1978(juta)
Prosentase pertumbuhan
1973 - 1978
0-4
21,5
23,3
8,4
5 - 9
18,6
20,0
7,5
10 - 14
15,9
18,2
14,5
15 - 19
12,3
15,5
26,0
20 - 24
9,8
11,9
21,4
25 - 29
8,5
9,4
10,6
     30 +
39,5
43,3
9,6
Jumluh
126,1
141,6
12,3
Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Menurut
Kelompok Umur, 1973 - 1978
kecenderungan penduduk Indonesia menjadi lebih muda terlihat dengan jelas. Lebih dari 50% dari seluruh pertambahan penduduk berumur di bawah 30 tahun. Struktur umur penduduk yang muda mengakibatkan banyak masalah pembangunan. Kebutuhan akan pangan meningkat bukan saja oleh karena bertambahnya penduduk tetapi juga oleh karena penduduk muda membutuhkan lebih banyak pangan sehubungan dengan perkembangan fisik mereka. Biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkan bagi penduduk umur muda juga meningkat secara lebih besar. Juga di bidang pendidikan, fasilitas pendidikan yang semakin meluas dibutuhkan untuk menampung meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Dan hal ini menghambat usaha peningkatan mutu pendidikan.
Di lain pihak arus pencari kerja baru akan lebih banyak terdiri dari tenaga muda yang walaupun berpendidikan tetapi masih belum berpengalaman. Hal ini mempersulit mendapatkan pekerjaan bagi mereka dan oleh karena itu pengangguran tenaga muda dibanding dengan kelompok tenaga lainnya cenderung lebih besar.
  1. Persebaran dan kepadatan penduduk
Di Indonesia, di samping tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi maka penyebaran penduduk yang tidak seimbang secara geografis merupakan pula sumber banyak masalah pembangunan.
Pada tahun 1971, kepadatan penduduk di pulau Jawa adalah kira-kira 565 orang per km². Kepadatan penduduk seluruh   Indonesia pada waktu itu adalah kira-kira 58 orang per km². Perbedaan yang besar dari pada kepadatan penduduk ini disebabkan sebagian besar penduduk Indonesia (± 63,8%) berdiam di pulau Jawa yang hanya merupakan 7% dari seluruh luas Indonesia.

Luas (ribuan km²)
Penduduk 1973 (juta)
Penduduk 1978 (juta)
Kepadatan penduduk 1973 (orang per km²)
Kepadatan penduduk 1978 (orang per km²)
Jawa
135
80
89
594
660
Luar Jawa
1.892
46
53
24
28
Seluruh Indonesia
2.027
126
142
62
70
Kepadatan penduduk jawa, luar jawa dan indonesia.
1973 dan 1978
Selanjutnya kepadatan penduduk di luar pulau Jawa adalah lebih kecil. Tabel diatas memberikan suatu gambaran kepa­datan penduduk di pulau Jawa dan luar Jawa. Menurut Tabel ini kepadatan penduduk di pulau Jawa meningkat dari 594 orang pada tahun 1973 menjadi 660 jiwa per km² pada tahun 1978. Sedangkan di daerah luar Jawa kepadatan penduduk meningkat dari 24 jiwa per km² menjadi 28 jiwa per km².
Walaupun angka-angka mengenai penyebaran penduduk ini adalah suatu perkiraan, namun masalah yang timbul dari persebaran yang tidak seimbang ini sudah dirasakan. Perse­baran penduduk yang kurang seimbang mempersulit usaha pemanfaatan sumber-sumber alam Indonesia. Persebaran penduduk antar daerah yang kurang seimbang berarti persebaran angkatan kerja yang kurang seimbang. Banyak daerah di luar pulau Jawa yang mengalami kekurangan tenaga kerja sehubungan dengan usaha pembangunan di daerah tersebut. Di lain pihak di pulau Jawa dirasakan adanya kelebihan tenaga. Jadi ketidakseimbangan di dalam persebaran penduduk telah mengakibatkam kurang optimalmya pemanfaatan tenaga kerja Indonesia.
Selain dari pada itu pemanfaatan tanah juga kurang seimbang. Luas tanah pertanian yang dimiliki oleh masing-masing keluarga petani di pulau Jawa semakin kecil dan menimbulkan masalah yang banyak di dalam usaha rneningkatkan pertanian.      Di luar Jawa, tanah yang belum dimanfaatkan untuk pertanian masih luas. Jelaslah kiranya bahwa adanya ketidakseimbangan di dalam persebaran penduduk telah mengakibatkan pemakaian sumber­sumber alam Indonesia kurang optimal.
Daerah
1961
%
1971*)
    %
Pertumbuhan Tahunan 1961-1971


Jumlah Penduduk Kota

14.358

15

20.765

17

3,8%
Jumlah Penduduk Desa

82.661

85

97.695

83

1,8%
Jumlah penduduk Indonesia
             97.019
      100
              118.460
        100

2,1%
Jumlah dan pertumbuhan penduduk daerah
kota dan desa, indonesia, 1961 dan 1971( dalam ribuan )
Aspek lain dari persebaran penduduk Indonesia ialah bahwa walaupun penduduk daerah kota hanya merupakan 17% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 1971, namun pertambahan penduduk daerah kota lebih dari 2 kali lebih cepat diban­dingkan dengan pertambahan penduduk di daerah pedesaan. Lebih cepatnya pertumbuhan penduduk kota anrtara lain disebabkan oleh adanya perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota.
Walaupun penduduk kota secara keseluruhan tumbuh jauh le­bih cepat dibanding dengan pertumbuhan penduduk desa, namun di antara kota-kota itu sendiri terdapat perbedaan pertumbuhan penduduk. Selama tahun 1961 - 1971, penduduk di Jakarta     tumbuh dengan 4,64% per tahun dan penduduk Surabaya tumbuh dengan 4,44%. Laju pertumbuhan penduduk di kota-kota lain berada di bawah laju pertumbuhan kota-kota Surabaya dan Jakarta. Penduduk Bandung, Semarang dan Banda Aceh umpamanya, masing-masing tumbuh dengan 1,43%, 2,54% dan 1,54% selama dasawarsa 1961 - 1971.
Pada kota-kota di mana pertumbuhan penduduk berjalan amat cepat, timbul berbagai ragam masalah. Pelayanan sosial yang meningkat menghendaki biaya yang besar. Konsentrasi penduduk dalam daerah yang relatif kecil, menimbulkan pengotoran lingkungan dan keadaan pemukiman yang kurang sehat, yang penanggulangannya juga menghendaki pembiayaan besar. Juga kebutuhan pembukaan lapangan kerja di kota dirasakan semakin mendesak.
D.    Perkembangan Kebijakan Pertumbuhan Penduduk
 Keprihatinan akan permasalahan kependudukan melahirkan sebuah konsep pembangunan berwawasan kependudukan, atau konsep pembangunan yang bekelanjutan. Dari sini pula lahirlah kesadaran dunia untuk mengurai masalah kemiskinan dan keterbelakangan melalui pendekatan kependudukan. Langkah pertama dan merupakan strategi yang monumental adalah kesadaran lebih dari 120 pemerintah/negara yang berjanji melalui konferensi internasional tentang pembangunan dan kependudukan (ICPD) di Cairo pada tahun 1994 untuk bersama-sama menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi semua orang tanpa diskriminasi “Secepat mungkin paling lambat tahun 2015”. Langkah besar ini dilanjutkan dengan Millenium Development summit (MDS) pada 12 September 2000 di New York (Amerika Serikat) dengan kesepakatan yang dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) yang menegaskan tentang komitmennya untuk :
  1. Penghapusan kemiskinan dan kelaparan (eradicating extreme poverty and hunger).
  2. Mencapai pendidikan dasar yang universal (achieving iniversal basic education).
  3. Mempromosikan kesehatan gender dan pemberdayaan perempuan (promoting gender equality and empowering women)
  4. Mengurangi jumlah kematian anak (reducing child mortality).
  5. Meningkatkan kesehatan ibu (improving maternal mortality ).
  6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain (Combating HIV/AIDS, malaria and other deseases).
  7. Menjamin kelestarian lingkungan hidup (ensuring environmental sustainability).
  8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan (developing a global partnership for development ).
Semakin disadarinya bahwa betapa besar pengaruh factor kependudukan terhadap kesejahteraan rakyat, sejak awal orde baru, pada tahun 1967 Presiden Suharto atas nama pemerintah Indonesia ikut menandatangani deklarasi kependudukan dunia yang antara lain menyatakan: “ As head of governments actively concerned with the population problem , we share convictions ; 1) We believe that the population problem must be recornized as a principle element in long range national planning if giferments are to achieve their economic goals and fulfil of their people, 2) Recognizing that family planning is in the vital interest of both nation and the family, we were undersigned earnestly hope that leaders around the word will share our views and joint with us in this great challenge for the well being and happiness of people everywhere
Tindak lanjut dari deklarasi di atas pada tahun 1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 8 tahun 1970 sebagai sebuah lembaga Non Departemen yang mempunyai tanggung jawab pada bidang pengendalian penduduk di Indonesia. Atas dasar itulah proyek besar di bidang pengendalian laju pertumbuhan penduduk berskala nasional yang sampai saat ini masih berjalan, yang disebut Program Keluarga Berencana Nasional dicanangkan. Lembaga resmi pelaksana tekhnis programnya bernama BKKBN yang pelaksana kegiatannya terstruktur secara herarkis ada mulai dari tingkat pusat hingga tingkat kecamatan dan desa. Program dan kelembagaannya selanjutnya disempurnakan melalui Kepres Nomor 33 tahun 1972, Kepres Nomor 38 tahun 1978, serta Kepres Nomor 109 1993 tentang Pembentukan Kementerian Kependudukan dan BKKBN.
Pada dasa warsa awal program Keluarga Berencana (KB) berjalan (1970-1980) Indonesia telah dapat menekan laju pertumbuhan penduduk menjadi 2,34 % dari 2.8 % lebih pada dasa warsa sebelumnya, kemudian pada 10 tahun berikutnya (1980-1990) laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan lagi menjadi 1,98 % dan pada dekade berikutnya (1990-2000) tingkat pertumbuhannya menjadi 1,49 %. Kendatipun pertumbuhan penduduk kecenderungannya semakin turun, hal yang perlu dipahami adalah bahwa penduduk Indonesia saat ini kurang lebih berjumlah 219 juta jiwa, sehingga dapat diperkirakan angka pertumbuhan penduduk secara absolut kurang lebih 3 juta jiwa per tahun, hampir sama banyaknya dengan penduduk Singapura atau Selandia Baru, dan akan bertambah terus meskipun program KB tetap berjalan baik.
Diperkirakan (BAPENAS) pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan berjumlah 273,7 juta, sehingga keberadaan Program Keluarga Berencana saat ini dan untuk waktu yang akan masih sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga keseimbangan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, serta daya dukung lingkungan.
Hal yang menarik dari perjalanan panjang Program Keluarga Berencana di Indonesia yang sudah menginjak tahun ke-35, dan kini menjadi persoalan baru ketika telah diratifikasinya Deklarasi Cairo (ICPD) yang antara lain berisi tuntutan keadilan dan kesetaraan gender, ternyata tingkat kesertaan ber-KB secara umum didominasi oleh perempuan, sedang pada laki-laki/pria tingkat kesertaannya masih sangat rendah (kurang dari 6 %) dari jumlah total Peserta KB Aktif (PA) yang ada atau kalau dibandingkan secara proporsional persentase kesertaan pria dan perempuan/wanita sangat tidak proporsional. Sumbangan terbesar dan yang mempunyai dampak sangat signifikan terhadap laju pertumbuhan penduduk (LPP) adalah pengguna alat kontrasepsi jangka panjang, yang salah satunya adalah Medis Operasi Pria (MOP), atau dengan bahasa lain tingkat kesertaan KB pria masih perlu terus mendapatkan perhatian serius dan ditingkatkan pencapaiannya.
Berdasarkan Rakernas Program KB tahun 2000, yang mengamanatkan perlunya ditingkatkan peran pria/laki-laki dalam Keluarga Berencana, ditindak lanjuti melalui Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 10/HK-010/B5/2001 tanggal 17 Januari 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas merumuskan kebijakan operasional Peningkatan Partisipasi pria, diputuskan perlunya intervensi khusus melalui program peningkatan partisipasi pria yang tujuan akhirnya ”Terwujudnya keluarga berkualitas melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi yang berwawasan gender pada tahun 2015”. Salah satu sasaran programnya adalah meningkatkan pria/suami sebagai peserta KB, motivator dan kader, serta mendukung istri dalam KB dan kesehatan reproduksi, yang tolok ukurnya
  1. Meningkatnya peserta KB Kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) 10 %
  2.  Meningkatnya motivator/kader pria 10 %. Untuk mendukung efektifitas pelaksanaan di lapangan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN melalui Keputusan nomor : 70/HK- 010/B5/2001, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Propinsi dan Kabupaten/Kota membentuk Seksi khusus Peningkatan Patisipasi Pria di bawah Bidang Pengendalian Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang bertugas menyusun paket informasi sesuai kondisi sosial, menyiapkan, dan mengembangkan segmentasi sasaran dalam rangka peningkatan partisipasi KB pria yang pelaksanaanya secara tekhnis di kecamatan dan desa dilaksanakan oleh PLKB dan PPLKB.
Upaya peningkatan kesertaan KB pria diperkuat Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 disebutkan bahwa “Sasaran pembangunan kependudukan dan pembangunan keluarga kecil berkualitas adalah terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga kecil berkualitas ditandai dengan :
  1. Menurunnya rata-rata laju pertumbuhan penduduk menjadi sekitar 1,14 persen per tahun, Total fertilitas rate (TFR) menjadi 2,2 per perempuan, persentase pasangan usia subur yang tidak terlayani menjadi 6 persen
  2. Meningkatnya kesertaan KB laki-laki menjadi 4,5 persen
  3. Meningkatnya penggunaan kontrasepsi yang efektif dan efisien
  4. Meningkatnya usia kawin pertama perempuan menjadi 21 tahun
  5. Meningkatnya partisipasi keluarga dalam tumbuh kembang anak
  6. Meningkatnya keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I yang aktif dalam uasaha ekonomi produktif
  7.  
  8. Meningkatnya jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
Perkembangan pelaksanaan program peningkatan kesertaan KB pria di lapangan ternyata belum seperti apa yang diharapkan. Dalam kenyataannya terdapat beberapa permasalahan yang muncul dalam implementasi program yang dilaksanakan, antara lain : Operasionalisasi program yang dilaksanakan selama ini lebih mengarah kepada wanita sebagai sasaran, penyiapan tempat pelayanan, tenaga pelayanan dan juga penyediaan alat dan obat kontrasepsi (Alokon) untuk pria sangat terbatas, hampir semuanya adalah untuk wanita, demikian juga adanya prioritas penggunaan Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) juga hamper semuanya untuk wanita. Kondisi demikian ini ikut mempengaruhi kemampuan dan keterampilan petugas (PLKB) dalam mengkomunikasikan dan memasarkan alat kontrasepsi bagi pria, karena kurang terbiasa dan sangat terbatasnya pilihan kontrasepsinya.
Kondisi lain yang juga mempengaruhi implementasi peningkatan kesertaan KB pria adalah permasalahan kelembagaan. Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2000 Tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid, dimana BKKBN merupakan instansi vertikal menjadi tidak berarti ketika harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2003 tentang SOTK di daerah yang terbit pada masa Presiden Megawati, yang juga menerbitkan Kepres Nomor 103 tahun 2001 yang menggariskan bahwa sebagian besar kewenangan BKKBN harus sudah diserahkan kepada daerah maksimal akhir tahun 2003. Kondisi yang demikian ini berdampak pada terombang-ambingnya kelembagaan yang menangani program, karena masing-masing daerah sangat beragam dalam menilai kepentingan program KB.
E.     Pokok-Pokok Kebijaksanaan Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan masalah yang di­akibatkannya pada dasarnya adalah masalah jangka panjang yang pemecahannya juga membutuhkan waktu lebih lama.

  1. Tujuan kebijakan pertumbuhan penduduk
Adapun tujuan jangka panjang kebijaksanaan penduduk ada­lah menurunkan angka tingkat kelahiran setidak-tidaknya separuh dari pada tingkat dewasa ini. Hal ini terutama akan dicapai melalui usaha pengintegrasian tujuan menurunkan         angka kelahiran kedalam program pembangunan dan membuat kebijaksanaan kependudukan sebagai bagian integral dari ke­bijaksanaan pembangunan. Tujuan jangka panjang lainnya adalah mempengaruhi penyebaran penduduk melalui usaha trans­migrasi dan pembangunan daerah agar penyebaran penduduk lebih serasi dengan pemanfaatan secara optimal sumber-sumber Indonesia. Di samping itu penyebaran penduduk di antara kota-kota dan desa akan diusahakan agar lebih serasi bagi pembangunan melalui usaha pembangunan pedesaan dan pembangunan kota-kota kecil.
Kebijaksanaan di bidang kependudukan di­arahkan untuk menurunkan tingkat kesuburan, meningkatkan usaha transmigrasi dan penyebaran penduduk ke daerah-daerah tipis penduduk, dan mengarahkan arus urbanisasi terutama ke kota-kota kecil.
  1. Kebijakan-kebijakan untuk mengurangi pertumbuhan penduduk
Tujuan khusus usaha menurunkan angka kelahiran adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mengurangi kemis­kinan, meningkatkan perkembangan fisik dan mental anak, serta meningkatkan derajat kesehatan ibu.
Usaha menurunkan tingkat kelahiran akan dilaksanakan secara sukarela dan mengenai jumlah anak yang ingin dipunyai oleh suatu keluarga diserahkan sepenuhnya kepada keputusan keluarga yang sesuai dengan norma-norma etika yang berlaku  dalam masyarakat
Usaha menurunkan angka kelahiran dilaksanakan dengan tidak membebani golongan penduduk ekonomi lemah dan tidak bersifat menghukum terhadap anak-anak yang telah lahir.
F.     Program Pemerintah
1.      Keluarga berencana
Keluarga berencana merupakan usaha pokok di dadam kebi­jaksanaan kependudukan umumnya dan usaha menurunkan tingkat kelahiran khususnya. Usaha menurunkan kelahiran me­lalui keluarga berencana sekaligus dikaitkan dengan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Sasaran usaha keluarga beren­cana adalah seluruh lapisan masyarakat dan jangkauan daerah usaha keluarga berencana diperluas ke daerah luar Jawa dan daerah pedesaan. Tujuan usaha keluarga berencana bukan hanya memperbanyak jumlah akseptor tetapi mempertahankan  agar keluarga-keluarga penerima tetap melaksanakan keluarga berencana.
Oleh karena berhasilnya keluarga berencana pada akhirnya akan ditentukan oleh kesadaran pada masing-masing keluarga,  maka cara yang ditempuh dalam keluarga berencana akan me­nekankan bukan hanya cara-cara klinis tetapi juga cara-cara nonklinis. Selanjutnya kegiatan pembangunan di dalam berbagai bidang diserasikan agar dapat menunjang pelaksanaan keluarga berencana. Kegiatan ini mencakup pendidikan dan pendidikan kependudukan, motivasi ke arah keluarga kecil, dan menurunkan angka kematian anak-anak.
  1. Pendidikan dan pendidikan kependudukan
Intensifikasi pendidikan baik formal maupun nonformal akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai masalah penduduk dan pentingnya pelaksanaan keluarga berencana. Te­tapi untuk lebih menyebarluaskan informasi mengenai kependu­dukan maka pendidikan kependudukan diintegrasikan ke dalam sistim pendidikan dan mencakup lembaga pendidikan guru, pen­didikan tingkat sekolah menengah dan pendidikan orang dewasa. Para lulusan sekolah menengah dan orang dewasa amat memerlukan informasi mengenai kependudukan oleh sebabmereka inilah yang akan membentuk keluarga dalam waktu    relatip singkat.
  1. Motivasi ke arah keluarga kecil
Usaha untuk memberikan motivasi ke arah tercapainya keluarga kecil dengan jumlah anak yang sedikit ditingkatkan. Dalam hubungan ini pemberian tunjangan keluar­ga dan kelonggaran lainnya di dalam sistem penggajian, pajak dan lain-lain, akan ditinjau dan disesuaikan dengan kebijaksanaan kependudukan. Selanjutnya sistem jaminan sosial teruta­ma untuk hari tua setahap demi setahap mulai ditingkatkan. Peningkatan sistem jaminan sosial ini penting oleh sebab masih luasnya pandangan bahwa banyak anak berarti banyak rezeki.
  1. Menurunkan angka kematian anak-anak
Salah satu motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang ba­nyak ialah bahwa anak merupakan sumber untuk meningkatkan pendapatan bagi keluarga berpendapatan rendah. Banyaknya anak yang tidak meneruskan sekolah adalah keadaan yang tim­bul oleh sebab rendahnya pendapatan orang tua mereka dan anak-anak ini dibutuhkan untuk dapat sekedar menambah pen­dapatan keluarga. Semakin tinggi tingkat kematian dikalangan anak dan bayi semakin besar pula kebutuhan akan tingkat kelahiran yang tinggi. Semakin banyak anak-anak yang lahir   dan hidup dan mencapai umur dewasa semakin kecil kebutuhan untuk jumlah kelahiran yang besar. Oleh karena itu usaha untuk lebih meratakan hasil pembangunan akan menunjang usaha keluarga berencana di dalam menurunkan angka kela­hiran. Selanjutnya usaha-usaha di bidang kesehatan umumnya   dan usaha meningkatkan kesehatan ibu dan anak dan menu­runkan angka kematian anak khususnya merupakan bagian daripada ikhtiar menurunkan tingkat kelahiran
  1. Program Kesehatan Reproduksi Remaja
Tujuan program ini untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi, guna meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga dalam mendukung upaya peningkatan kualitas generasi mendatang. Kegiatan pokok yang dilakukan antara lain meliputi:
a.       Mengembangkan kebijakan pelayanan kesehatan reproduksi remaja bagi remaja.
b.      Menyelenggarakan promosi kesehatan reproduksi remaja, termasuk advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi, dan konseling bagi masyarakat, keluarga, dan remaja.
c.       Memperkuat dukungan dan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan program kesehatan reproduksi remaja yang mandiri.


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking