KAPITALISME DAN PERJUANGAN UNTUK
MEMPERTAHANKAN HIDUP DI
BIDANG EKONOMI
İ stilah kapitalisme berarti
kedaulatan kapital atau modal, yakni sistem ekonomi bebas tanpa batas yang
didasarkan secara penuh pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing atau
berkompetisi dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme:
individualisme, persaingan (kompetisi) dan perolehan keuntungan. Individualisme
penting dalam kapitalisme sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukan
sebagai bagian dari masyarakat, tetapi sebagai “individu-individu” yang berdiri
sendiri di atas kedua kakinya dan harus memenuhi kebutuhan pribadi dengan kerja
kerasnya sendiri. “Masyarakat kapitalis” adalah arena dimana para individu
bersaing satu sama lain dalam lingkungan yang keras dan tanpa belas kasih. Ini
adalah arena yang persis sebagaimana penjelasan Darwin, yang menempatkan hanya
yang kuat yang tetap hidup, sedangkan kaum lemah dan tak berdaya akan
terinjak-injak dan tersingkirkan; ini juga tempat di mana kompetisi sengit
merajalela.
Menurut pola pikir yang dijadikan
dasar berpijak kapitalisme, setiap individu – dan ini dapat berupa perorangan,
sebuah perusahaan atau suatu bangsa – harus berjuang demi kemajuan dan
kepentingannya sendiri. Hal terpenting dalam peperangan ini adalah produksi.
Produsen terbaik akan bertahan hidup, sedangkan yang lemah dan tidak cakap akan
tersingkir dan lenyap. Beginilah sosok sistem kapitalisme, yang telah melupakan
kenyataan bahwa yang tersingkirkan dalam peperangan sengit ini, yang
terinjak-injak dan jatuh miskin adalah “manusia”. Yang menjadi pusat perhatian
kapitalisme bukanlah manusia, akan tetapi pertumbuhan ekonomi, dan barang,
yakni hasil dari pertumbuhan ekonomi ini. Karena alasan tersebut, pola pikir
kapitalis tidak lagi merasakan tanggung jawab etis atau memiliki hati nurani
terhadap orang-orang yang terinjak di bawah kakinya, yang harus mengalami
berbagai kesulitan hidup. Ini adalah Darwinisme yang diterapkan secara
menyeluruh pada masyarakat di bidang ekonomi
Dengan menyatakan perlunya
mendorong kompetisi di berbagai bidang kehidupan, dan memaklumkan tidak
perlunya menyediakan kesempatan atau bantuan bagi golongan masyarakat lemah
dalam hal apapun, baik di bidang kesehatan hingga ekonomi, para perumus
Darwinisme Sosial terkemuka telah memberikan dukungan “filosofis” dan “ilmiah”
bagi kapitalisme. Misalnya, menurut Tille, sosok terkemuka yang mewakili
mentalitas kapitalis-Darwinis, adalah kesalahan besar untuk mencegah kemiskinan
dengan cara membantu “kelompok-kelompok yang tersingkirkan”, sebab ini berarti
turut mencampuri seleksi alam yang mendorong terjadinya evolusi.119
Dalam pandangan Herbert Spencer,
perumus utama teori Darwiniwme Sosial, yang memasukkan ajaran pokok Darwinisme
ke dalam kehidupan masyarakat, jika seseorang miskin maka ini adalah
kesalahannya sendiri; orang lain tidak sepatutnya menolong agar ia bangkit.
Jika seseorang kaya, bahkan jika ia mendapatkan kekayaannya melalui cara yang
tidak bermoral, maka ini adalah berkat kecakapannya. Oleh karena itu, orang
kaya akan bertahan hidup, sedangkan yang miskin akan lenyap. Ini adalah pemandangan
yang telah berlaku hampir secara menyeluruh pada masyarakat sekarang dan
gambaran ringkas tentang moralitas kapitalis-Darwinis.
Spencer, yang mendukung moralitas
ini, menyelesaikan karyanya Social
Statistics pada tahun 1850, dan menolak segala bentuk bantuan bagi
masyarakat yang diusulkan oleh negara, seperti program pencegahan untuk
melindungi kesehatan, sekolah-sekolah negeri, dan vaksinasi wajib. Sebab
menurut Darwinisme Sosial, tatanan kemasyarakatan terbangun berdasarkan
keberlangsungan hidup bagi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat lemah yang
menjadikan mereka mampu bertahan hidup adalah pelanggaran terhadap asas ini. Si
kaya adalah kaya karena mereka lebih layak hidup; sebagian bangsa menjajah
sebagian yang lain dikarenakan pihak penjajah lebih unggul dari pihak terjajah,
manusia dengan ras-ras tertentu menjadi bawahan dari ras-ras lain karena
tingkat kecerdasannya yang lebih tinggi. Spencer menerapkan doktrin ini dengan
sungguh-sungguh pada masyarakat manusia, “Jika mereka benar-benar layak untuk
hidup, mereka akan hidup, dan memang sebaiknya mereka harus hidup. Jika mereka
benar-benar tidak layak untuk hidup, mereka akan mati, dan adalah yang terbaik
jika mereka harus mati”120
Graham Sumner, Professor Ilmu
Politik dan Sosial di Universitas Yale, adalah juru bicara Darwinisme Sosial di
Amerika. Dalam salah satu tulisannya, ia merangkum pandangannya tentang
masyarakat manusia sebagai berikut:
...jika kita mengangkat seseorang ke atas kita harus
memiliki tumpuan, yakni titik reaksi. Dalam
masyarakat ini berarti bahwa untuk mengangkat seseorang ke atas maka kita harus
mendorong seseorang yang lain ke bawah.121
Richard Milner, editor senior pada
Majalah Natural History terbitan American Museum of Natural History, New York,
menulis:
Salah satu juru bicara terkemuka Darwinisme Sosial,
William Graham Sumner dari Princeton, berpandangan bahwa kaum jutawan adalah
individu-individu ‘paling cakap’ dalam masyarakat dan berhak mendapatkan
perlakuan istimewa. Mereka “secara alamiah telah terseleksi di arena kompetisi”122
Sebagaimana telah kita ketahui dari
pernyataan ini, para pendukung Darwinisme Sosial menggunakan teori evolusi
Darwin sebagai pernyataan “ilmiah” bagi masyarakat kapitalis. Akibat dari hal
ini, masyarakat telah kehilangan akhlak mulia yang diajarkan agama seperti
saling membantu, kedermawanan, dan kerjasama. Sebaliknya, ajaran ini telah
tergantikan oleh sifat mementingkan diri sendiri, kikir dan oportunisme.
Menurut salah seorang perumus teori Darwinisme Sosial terkemuka, Profesor E.A.
Ross asal Amerika, “Bantuan kemanusiaan yang dikelola kaum Kristiani sebagai
sarana amal kebajikan telah memunculkan tempat berlindung di mana orang-orang
dungu tumbuh dan berkembang biak.” Lagi menurut Ross, “Negara mengumpulkan
orang bisu dan tuli di tempat-tempat penampungannya, dan ras manusia bisu dan
tuli sedang dalam proses pembentukan.” Ross menolak semua ini karena dianggap
mencegah kemajuan proses evolusi di alam dan berkata, “Jalan paling pintas
untuk menjadikan dunia ini surga adalah dengan membiarkan mereka yang
tergesa-gesa cenderung ingin ke neraka berjalan dalam langkah mereka sendiri.”123
Sebagaimana telah kita pahami,
Darwinisme telah membangun dasar filosofis bagi semua sistem ekonomi kapitalis
di dunia dan sistem politik yang terwarnai oleh sistem ekonomi ini.
Inilah alasan mengapa para
pendukung utama Darwinisme Sosial adalah para pemilik modal. Kemenangan pihak
kuat dengan menginjak-injak golongan lemah dan penerapan kebijakan ekonomi yang
sangat jauh dari rasa kasih sayang, saling membantu dan mencintai tidak lagi
menjadi perbuatan yang terkutuk. Sebab perilaku seperti ini dianggap sejalan
dengan “penjelasan ilmiah” dan “hukum alam”.
Menurut Richard Hofstadter, penulis
buku Social Darwinism in American Thought,
yang juga seorang pengusaha besar kereta api di abad ke-19 Chauncey Depew
mengatakan bahwa kalangan yang meraih ketenaran, keberuntungan dan kekuasaan di
kota New York mewakili prinsip kelangsungan hidup bagi yang terkuat, melalui
keahlian unggul mereka, kemampuan berpikir ke depan dan kemampuan beradaptasi.”124 Raja perkeretaapian yang lain, James J. Hill,
mengatakan bahwa “keberuntungan perusahaan-perusahaan kereta api ditentukan
oleh hukum kelangsungan hidup bagi yang terkuat”125
Dalam biografinya, Andrew Carnegie,
pemilik modal terkemuka lainnya di Amerika, menyatakan keyakinannya terhadap
evolusi dengan mengatakan, “Saya telah menemukan kebenaran evolusi.”126 Di bagian lain ia menuliskan perkataan berikut
ini:
(Hukum
kompetisi) itu berlaku di sini; kita tidak dapat menghindarinya; teori
yang dapat menggantikannya belum ditemukan; dan kendatipun hukum ini mungkin
terkadang terasa berat bagi individu, namun ini yang terbaik bagi ras, sebab
hal ini menjamin kelangsungan hidup bagi
yang paling kuat di segala bidang (kehidupan). 127
Dalam artikelnya Darwin’s Three Mistakes, ilmuwan
evolusionis Kenneth J. Hsü, mengungkap pemikiran Darwinis kaum kapitalis
Amerika terkemuka:
Darwinisme juga dijadikan pembenaran bagi
individualisme kompetitif dan dampak alamiahnya di bidang ekonomi berupa
kapitalisme bebas di Inggris dan di Amerika. Andrew Carnegie menulis bahwa
“hukum kompetisi, secara sehat ataupun tidak, berlangsung dalam kehidupan ini;
dan kita tidak dapat menghindarkannya”. Rockefeller melangkah lebih jauh ketika
menyatakan bahwa “pertumbuhan bisnis besar hanyalah keberlangsungan hidup bagi
yang terkuat; ini sekedar cara kerja hukum alam.”128
Sungguh sangat menarik, di Amerika,
lembaga-lembaga seperti Rockefeller Foundation dan the Carnegie Institution,
yang didanai oleh kerajaan kapitalis seperti Rockefeller dan Carnegie,
memberikan bantuan dana cukup besar untuk penelitian di bidang evolusi.
Sebagaimana telah dipahami dari
uraian di atas, kapitalisme telah menyeret manusia untuk menyembah hanya uang
dan kekuatan yang bersumber dari uang. Dengan sama sekali tidak mengindahkan
nilai agama dan etika, masyarakat yang terpengaruh pemikiran evolusi akan lebih
mengutamakan materi, dan menjadi semakin jauh dari perasaan seperti cinta,
kasih sayang dan pengorbanan.
Akhlak kapitalis ini telah
merajalela hampir di seluruh lapisan masyarakat sekarang. Akibatnya, kaum
miskin, lemah dan tak berdaya tidak mendapatkan bantuan, perhatian ataupun
perlindungan. Bahkan jika mereka menderita penyakit parah dan mematikan, mereka
tidak mampu mendapatkan seseorang yang bersedia membantu mengobati mereka. Kaum
papa terlantar begitu saja hingga sakit dan meninggal. Di banyak negara,
seringkali dijumpai ketidakadilan dan perilaku tidak manusiawi seperti
anak-anak di bawah umur yang dipaksa bekerja dan diterlantarkan tanpa mendapatkan
hak mereka secara wajar.
Kini, alasan mengapa negara-negara
seperti Etiopia menderita bencana kekeringan dan kelaparan adalah merajalelanya
moral kapitalis ini. Kendatipun bantuan dan dukungan dari banyak negara
sebenarnya mampu menyelamatkan penduduk yang kelaparan ini, mereka tetap saja
dibiarkan kelaparan dan miskin begitu saja.
Ciri masyarakat kapitalis lainnya
adalah tersebarnya kekayaan dengan tidak adil dan merata. Dalam masyarakat
seperti ini, perbedaan antara si kaya dan si miskin semakin hari semakin
melebar. Ketika si miskin semakin miskin, harta kekayaan si kaya semakin
bertambah. Munculnya jutaan tuna wisma yang hidup terlantar dan sangat
memprihatinkan, bahkan di Amerika yang merupakan negara paling maju di dunia,
merupakan akibat dari moralitas kapitalis. Sudah pasti masyarakat Amerika cukup
kaya untuk memberi bantuan dan perlindungan kepada semua orang ini, termasuk
memberi mereka pekerjaan. Tetapi karena mentalitas yang berlaku bukanlah
memberi kesempatan kaum miskin untuk bangkit, tapi untuk tumbuh berkembang
dengan menginjak si miskin, maka jalan keluar tidak diberikan bagi kaum miskin
ini. Inilah hasil penerapan ajaran Darwinisme Sosial yang menyatakan bahwa
“Untuk tumbuh berkembang, diperlukan suatu batu loncatan bagi seseorang untuk
berpijak”.
KEHANCURAN MORAL AKIBAT DARWINISME
T idak diragukan lagi, bencana
terbesar yang diakibatkan Darwinisme terhadap umat manusia adalah pemalingan
manusia dari agama. Kehancuran moral dan spiritual yang dasyat berlangsung
dengan cepat pada masyarakat yang jauh dari agama. Contoh seperti ini banyak
dijumpai dalam masyarakat sekarang.
Sejumlah orang berkata bahwa
Darwinisme tidak dapat dipersalahkan bagi jauhnya masyarakat dari agama. Sebab,
sebagian besar mereka yang tidak menjalankan agama belum pernah mendengar
tentang paham Darwinisme. Kalimat kedua dari pernyataan ini adalah benar
adanya. Saat ini, mereka yang mendukung Darwinisme dengan pemahaman yang baik
berjumlah sangat sedikit. Tapi perlu diingat, mereka yang sedikit inilah yang
mengarahkan dan mengendalikan pola pikir masyarakat di sebagian besar bidang
kehidupan. Pengaruh yang mereka bangun terhadap masyarakat mencapai jumlah yang
tak terhitung. Mereka mampu menancapkan pola pikir mereka pada sebagian besar
masyarakat. Misalnya, para profesor dari universitas terkenal, sebagian besar
direktur film ternama, dan para editor penerbitan, surat kabar dan majalah
terkenal di dunia, sebagian besarnya adalah para evolusionis, dan sudah barang
tentu atheis. Oleh sebab itu, bagian masyarakat yang menjadi garapan mereka
terpengaruh oleh media masa beserta pemikiran evolusi dan anti-agama mereka.
Hasilnya, muncullah masyarakat yang menerima gagasan menyimpang ini secara
luas.
Ernst Mayr, ahli biologi
Universitas Harvard yang juga seorang evolusionis terkemuka di dunia,
menjelaskan kedudukan teori evolusi dalam kehidupan masyarakat sebagai berikut:
Sejak Darwin, setiap orang yang berpengetahuan
setuju bahwa manusia berasal dari kera... Evolusi berpengaruh pada setiap aspek
pemikiran manusia: filsafatnya, metafisiknya, etikanya...131
Pengaruh luas Darwinisme dalam
kehidupan masyarakat bekerja layaknya kekuatan “sihir”. Sebagian besar generasi
muda khususnya, dengan pengalaman hidup yang belum matang untuk membangun pola
pikir yang sangat sederhana sekalipun, mudah terpedaya oleh gagasan semacam
ini. Yang jauh lebih mudah lagi adalah mengarahkan mereka berpola pikir
sebagaimana yang diinginkan melalui majalah yang mereka baca, film, permainan
atau klip musik yang mereka tonton, dan, yang terpenting dari semua ini,
melalui pendidikan yang mereka terima di sekolah. Sebab, pengaruh inilah yang
menjadikan manusia mempercayai teori evolusi sebagai kebenaran selama 150
tahun, meskipun kebohongan dan ketidakilmiahannya telah terbukti.
Jika anda cermati, kini propaganda
anti agama jarang dilakukan secara terang-terangan. Tak seorangpun secara
terbuka mengajak orang lain untuk meninggalkan beragama. Namun, cara
tersembunyi untuk melakukan hal ini diterapkan, meski tidak nampak pada
awalnya. Penghinaan terhadap agama atau hal yang berhubungan dengannya,
terhadap para agamawan, penggunaan kata yang memiliki arti pengingkaran
terhadap Tuhan, takdir, dan agama dalam syair-syair lagu, novel, film, judul
utama surat kabar, dan lelucon, hanyalah sedikit contoh cara tersembunyi
tersebut.
Akan tetapi, pokok bahasan seputar
Darwinisme merupakan alat yang paling umum digunakan untuk propaganda anti
agama. Bahkan dalam pokok bahasan yang sangat tidak berkaitan, kebohongan bahwa
nenek moyang kita adalah kera tetap ditegaskan. Pernyataan tentang teori
evolusi bahkan tercantum secara tersirat dalam analisis psikologi manusia.
Akibatnya, muncullah masyarakat manusia yang tidak begitu menaruh perhatian
pada agama, kehidupan akhirat, dan tanggung jawab moral; yang tidak berpikir,
yang tidak takut kepada Tuhan, dan yang sungguh tidak beriman kepada-Nya meski
saat ditanya mereka menyatakan beriman kepada Tuhan dan agama. Manusia yang
tidak beriman dan takut kepada Allah tidak merasa dibatasi dan diatur dalam hal
apapun. Mereka hidup layaknya binatang yang mereka anggap sebagai nenek moyang
mereka.
Misalnya, seseorang yang tidak
berhati-hati dalam menjaga diri dan tidak takut kepada Allah, tidak dapat
diharapkan untuk menjaga kesucian dirinya karena ia merasa tidak ada batasan
yang harus dipatuhinya. Ia tergiur untuk melakukan berbagai tindakan tak
bermoral selama dapat melakukannya di luar sepengetahuan manusia. Sebagaimana
yang kini terjadi, terutama di kalangan tertentu dan kaum muda, batasan yang
semakin lama semakin longgar, semakin tidak dihiraukannya nilai moral dan
larangan Tuhan, dan berpalingnya masyarakat dari agama akibat gagasan
Darwinisme, adalah salah satu akibat dari semua ini. Manusia yang memandang
diri mereka sama sekali tak terikat oleh aturan dan tidak akan bertanggung jawab
kepada siapapun, akan berperilaku melampaui batas dari hari ke hari. Kaum
muda-mudi berani mengisahkan kepada surat kabar tentang kehidupan sex mereka
hingga bagian-bagiannya yang terkecil. Surat kabar pun memuatnya sementara para
pembaca tidak berkeberatan membacanya. Media masa memuji dan membahas
perzinahan dengan penuh semangat, bahkan menganjurkan agar setiap orang
melakukannya. Begitulah, zina telah menjadi perbuatan yang tidak lagi dipandang
tidak wajar. Jika dicermati dengan seksama, di balik pembunuhan, perzinahan,
kecurangan, penipuan, memberi dan menerima suap, dan kebohongan; singkatnya,
yang menjadi biang segala perbuatan bejat ini adalah jauhnya masyarakat dari
ajaran agama. Cara paling ampuh untuk menciptakan keadaan ini secara luas adalah
pengaruh kuat kebohongan Darwinisme yang menyatakan bahwa “manusia muncul
menjadi ada akibat peristiwa kebetulan belaka “
Ken Ham, penulis buku The Lie: Evolusion, membahas
berkurangnya keyakinan terhadap agama akibat pengaruh Darwinisme sebagai sebuah
pokok bahasan dan mengatakan:
Jika Anda mengingkari Tuhan dan mengganti-Nya dengan
keyakinan lain yang menempatkan kebetulan, proses yang berlangsung secara acak
sebagai ganti Tuhan, maka tidak ada patokan yang menentukan mana yang benar dan
mana yang salah. Peraturan tergantung bagaimana kita ingin membuatnya. Tidak
ada sesuatu yang mutlak – tidak ada patokan-patokan yang wajib dipatuhi.
Manusia akan membuat peraturan mereka sendiri.132
Evolusionist terkenal Theodious
Dobzhansky menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa gagasan “seleksi alam”,
yang menjadi landasan bagi Darwinisme, telah menyebabkan munculnya masyarakat
yang berakhlak buruk:
Seleksi alam cenderung dapat memunculkan sikap
mementingkan diri sendiri, hedonisme, ketakutan sebagai ganti keberanian,
kecurangan dan pemerasan. Sebaliknya, etika kebersamaan yang pada dasarnya ada
di seluruh masyarakat cenderung menentang atau melarang perilaku ‘alami’
seperti itu, dan memuji kebalikannya: kebajikan, kedermawanan, dan bahkan
pengorbanan diri demi kemaslahatan untuk sesama, untuk suku atau untuk bangsa
dan bahkan untuk seluruh umat manusia.133
Jika kita amati sekeliling kita
saat ini, kita akan segera menyadari jejak-jejak kehancuran paling parah yang
diakibatkan oleh moralitas Darwinisme. Gagasan bahwa kemajuan, pembangunan, dan
peradaban dihasilkan oleh manusia yang hidup terpisah satu dari yang lain dan
tanpa ikatan untuk saling memberikan pertolongan, kesetiaan, penghormatan, dan
belas kasih, telah dipaksakan kepada masyarakat. Pernyataan bahwa keadaan ini
hendaknya diterima demi kemajuan dan tingkat produksi yang lebih besar
seringkali dikemukakan. Padahal, ini merupakan akibat ulah manusia sendiri yang
menempatkan diri mereka pada “status binatang”, dan tidak dapat dikatakan
sebagai kemajuan ataupun peradaban.
Sungguh, manusia bukanlah spesies
binatang dan ia tidak muncul menjadi ada sebagai keturunan dari binatang
manapun. Manusia, yang Allah ciptakan dengan kelengkapan akal, kecerdasan, hati
nurani, dan ruh, adalah makhluk yang sama sekali berbeda dengan makhluk lain
dikarenakan berbagai beragam keistimewaannya ini. Namun, akibat pengaruh sihir
Darwinisme-materialisme, manusia melupakan keistimewaan tersebut dan tenggelam
dalam kepicikan, akhlak buruk, dan hati nurani serta nalar yang tidak berfungsi,
yang bahkan tidak dijumpai pada binatang. Kemudian mereka berkata, “Kita pun
keturunan binatang, sehingga masih terdapat warisan genetis dari mereka,” dan
membuat dalih ilmiah untuk menutupi kemalasan dan kebebalan mereka.
Banyak ilmuwan yang mendalami masalah
perilaku manusia, yang juga pengikut Darwinisme, menjadikan alur berpikir ini
sebagai dasar berpijak, dan menyatakan bahwa kecenderungan manusia kepada
tindak kejahatan merupakan warisan perilaku nenek moyang binatangnya. Dalam
bukunya Ever Since Darwin,
evolusionis terkemuka Stephen Jay Gould mengemukakan pernyataan, yang awalnya
dikemukakan oleh fisikawan Italia Lombroso:
Teori-teori biologi tentang kriminalitas bukanlah
barang baru, tapi Lombroso memberikan penjelasan baru yang berkaitan dengan evolusi.
Terlahir sebagai penjahat bukan berarti menderita kegilaan atau berpenyakit;
mereka, secara harfiah, terlempar kembali ke tangga evolusi sebelumnya.
Sifat-sifat genetis nenek moyang kita yang primitif dan mirip kera masih
tersisa dalam perbendaharaan genetik kita. Sejumlah orang yang kurang beruntung
terlahir dengan sejumlah besar sifat-sifat nenek moyang ini, yang di luar
kewajaran. Perilaku mereka mungkin dapat diterima dalam masyarakat biadab masa
lalu; namun kini, kita menjulukinya sebagai tindakan kriminal. Kita mungkin
merasa kasihan terhadap mereka yang terlahir sebagai kriminal, dikarenakan
mereka tidak dapat menghindarinya; namun kita tidak dapat membiarkan tindakan
mereka begitu saja.134
Menurut anggapan para Darwinis,
dengan kata lain pembunuhan seseorang terhadap orang lain, penderitaan yang
ditimpakan kepadanya, pencurian, dan perkelahian, merupakan warisan yang secara
genetis diturunkan dari nenek moyangnya yang mirip kera. Berdasarkan
alasan tersebut, berbagai tindak kejahatan ini bukanlah berasal dari dalam diri
orang tersebut dan, karenanya, dipandang sebagai suatu yang dapat dimaklumi.
Sebagaimana dapat dipahami dari
pernyataan-pernyataan ini, pola pikir Darwinis memandang nurani manusia dan
kemampuannya untuk berkehendak, bernalar dan menilai sesuatu sebagai hal yang
tidak bermakna, dan meyakini manusia sebagai makhluk yang tidak memiliki
kecerdasan, yang berperilaku menuruti instingnya, persis sebagaimana binatang.
Menurut pandangan ini, layaknya singa liar yang tidak mampu menahan perilaku
agresif dalam dirinya dan tidak dapat memperlihatkan perilaku arif seperti
menahan amarah, atau memberi maaf dan bersabar, maka manusia pun berperilaku
sama. Sudah pasti, ketiadaan rasa damai dan aman, kekacauan, pertikaian, dan
perkelahian akan terjadi dalam masyarakat yang di dalamnya terdapat manusia
semacam ini.
Kesengsaraan dan
Keputus-asaan Akibat Darwinisme
Menurut kaum Darwinis dan materialis, keseluruhan
alam raya, termasuk manusia, terbentuk sebagai hasil peristiwa acak dan
kebetulan. Berkembangnya pengaruh pandangan ini dalam masyarakat memunculkan
sosok-sosok manusia tak bertanggung jawab yang sama sekali merasa tidak terikat
oleh aturan apapun.
Seseorang yang tidak memiliki
tujuan hidup tidak akan berpikir, tidak mampu memberikan arahan bagi
pengembangan diri mereka sendiri, tidak memiliki kepedulian, suka mencela,
tidak berperasaan, tidak memiliki kepekaan, tidak mampu menggunakan hati
nuraninya, dan tidak mengenal aturan atau batasan. Ia tidak memiliki sifat
mulia atau akhlak terpuji. Dalam pandangannya yang menyimpang, dirinya adalah
sosok hewan yang telah berkembang dan maju. Karenanya, dalam hidupnya di dunia
ini, ia harus mencari makan dan berkembang biak sebagaimana makhluk hidup
lainnya. Setelah kebutuhan pokoknya terpenuhi, ia hendaknya mencari hiburan dan
kesenangan sepuas-puasnya, dan menunggu hingga saat kematian tiba. Begitulah,
di sini kita pahami bahwa meskipun kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan
tentang seluk-beluk Darwinisme, mereka menjalani kehidupan sebagai umat manusia
sebagaimana yang dikemukakan oleh Darwin.
Karena mereka menjalani kehidupan
yang penuh dengan kekerasan, sebuah kehidupan yang suatu saat akan berakhir,
maka orang-orang ini mudah terbawa oleh perasaan yang sangat menekan dan rasa
keputusasaan. Keyakinan bahwa segalanya akan berakhir dengan kematian, dan
tidak ada sesuatu pun setelah kematian, menjadikan hidup mereka tidak bahagia.
Salah satu penyebab tindakan bunuh diri, gangguan jiwa, dan tekanan batin
adalah pengaruh buruk sihir Darwinisme dalam diri manusia.
Richard Dawkins, salah seorang
evolusionis terkemuka masa kini, mengungkap satu contoh kasus ini. Dawkins
menyatakan manusia sebagai mesin gen, dan satu-satunya tujuan keberadaan
manusia di dunia adalah untuk mewariskan gen ini ke generasi berikutnya. Dalam
pandangan Dawkins, tidak ada tujuan lain bagi keberadaan manusia atau alam
semesta. Seluruh jagat raya dan manusia terbentuk sebagai hasil peristiwa acak
dan kebetulan.
Mereka yang terpedaya untuk
meyakini pernyataan ini akan mudah merasa tertekan dan kehilangan harapan.
Manusia yang mempercayai tujuan hidup hanyalah untuk mewariskan gen, bahwa
segalanya berakhir dengan kematian dan tak satupun yang ia lakukan di dunia ini
memiliki makna, dan yang menganggap persahabatan, cinta kasih, kebajikan, dan
keindahan tidak memiliki arti, akan menganggap kehidupan ini begitu kejam dan
tidak berguna. Mereka tidak akan mampu mendapatkan kebahagiaan dari apapun yang
ada. Dalam kata pengantar bukunya Unweaving
the Rainbow, Dawkins mengakui pengaruh negatif dan perasaan putus asa yang
dialami oleh mereka yang telah membaca pernyataannya tentang tujuan hidup
manusia:
Sebuah penerbitan asing yang menerbitkan buku
pertama saya mengaku bahwa ia tidak
dapat tidur selama tiga malam setelah membacanya, ia merasa sangat
terganggu dengan apa yang ia anggap sebagai pesan yang dingin, dan mendorong
rasa putus asa dalam buku tersebut. Beberapa orang yang lain bertanya kepada
saya bagaimana saya masih sanggup bangun di pagi hari. Seorang guru dari sebuah
negeri yang jauh menulis kepada saya dengan nada menyalahkan bahwa seorang
murid datang kepadanya sambil menangis setelah membaca buku yang sama, karena
buku tersebut telah mendorongnya beranggapan bahwa hidup ini hampa dan tidak
memiliki tujuan. Ia menganjurkannya agar tidak memperlihatkan buku tersebut
kepada teman-temannya karena khawatir akan mengotori mereka dengan pemikiran pesimisme nihilistik yang sama. Tuduhan
serupa tentang kehampaan hidup, menyebarkan pesan yang gersang dan tidak
membahagiakan, seringkali terlontar dalam ilmu pengetahuan secara umum, dan
para ilmuwan mudah sekali menjadikan mereka terpengaruh. Rekan saya Peter
Atkins memulai bukunya The Second Law
(1984) dengan pernyataan serupa:
Kita adalah anak-anak yang hidup dalam dunia yang
tidak memiliki tujuan, dan segalanya mengalami perubahan yang mengarah ke
kerusakan. Pada dasarnya, yang ada
hanyalah kerusakan dan kekacauan. Semua tujuan telah sirna; segala yang
tertinggal hanyalah arah. Saat kita
menyelami lebih jauh di kedalaman alam semesta, kita akan mendapati ketiadaan
makna dan ini adalah sesuatu yang harus kita terima.135
Pendukung Darwinisme lainnya adalah
Nietzshe, seorang filsuf Jerman yang menyatakan kehidupan ini tidak bermakna
apapun, dan yang menjadikan orang-orang memandang hidup ini secara pesimis.
Tesisnya tentang keunggulan ras memberikan dukungan filosofis bagi Hitler.
Pemikiran yang ia kemukakan, yang dikenal sebagai “nihilisme” dan
“nothingisme”, pada intinya adalah: Manusia hendaknya memiliki tujuan untuk
hidup. Namun tujuan ini, menurut Nietzsche yang tidak mengakui keberadaan
Tuhan, tidak ada kaitannya dengan Tuhan yang telah menciptakan manusia.
Karenanya, dalam pemahaman Nietzsche, manusia terus-menerus mencari tujuan
hidup ini, akan tetapi tidak mampu menemukannya. Akibatnya, ia mengalami
pesimisme dan keputusasaan.
Yang benar sesungguhnya adalah
mencari tujuan di balik keberadaan atau penciptaan manusia. Namun, sebagaimana
yang dikemukakan Nietzsche, jika seseorang sama sekali tidak mau menerima
tujuan utama keberadaan dirinya, dan berusaha sendiri untuk mencari tujuan
selain yang ada dalam batasan kebenaran ini, maka ia pasti tak akan mampu
menemukannya. Dan perlu kami kemukakan di sini bahwa Nietzsche meninggal dalam
keadaan gila.
Masyarakat yang melupakan
penciptaan diri mereka oleh Tuhan, yang telah menciptakan untuk sebuah tujuan,
akan benar-benar mengalami kehancuran moral dan spiritual. Kekayaan,
kemakmuran, dan kemajuan ekonomi tidak akan memberikan kedamaian dan rasa aman
bagi orang-orang ini. Manusia yang tidak mau menuruti akal sehat dan suara hati
nuraninya, yang merasa tidak terikat oleh aturan apapun dan tidak memiliki
tujuan hidup, akan menderita kesedihan dan keputusasaan. Mereka yang
beranggapan bahwa kehidupan mereka di dunia akan berakhir dengan kematian, akan
mengalami kesedihan, kesengsaraan, dan keputusasaan saat mereka menjalani
kehidupan sesungguhnya setelah kematiannya.
Sebaliknya orang yang beriman
kepada Tuhan dan hari akhir memahami tujuan penting dari kehidupannya. Ia
selalu merasakan kebahagiaan dan berharap akan ampunan, kasih sayang Allah
beserta surga-Nya. Apapun yang terjadi, ia akan senantiasa bersyukur kepada
Tuhan. Karenanya, ia tidak pernah terpedaya untuk berprasangka buruk dan
berputus asa.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking