Kesalahan
Orang-orang Beriman Juga
Menjadi Kebaikan
Bagi Mereka
Satu masalah paling menakutkan yang
didasarkan pada kebodohan bagi seseorang di dalam masyarakat adalah berbuat
kesalahan. Ketika seseorang berbuat kesalahan, ia biasanya merasa malu dan
menjadi objek olok-olok. Atau, suatu kesalahan membuatnya kehilangan
kesempatan-kesempatan tertentu yang dianggapnya penting.
Dari sudut pandang Al-Qur`an, situasi
seperti itu bagaimanapun juga harus disikapi sebaliknya. Seorang mukmin tidak
mendasarkan penilaiannya terhadap orang lain dari kesalahan yang dibuatnya,
untuk menyadari kenyataan bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Ia malah
merasa sayang terhadap orang itu.
Saat seorang mukmin berbuat kesalahan, ia
benar-benar memikirkannya dengan saksama dan mempelajari kesalahannya; rasa
takutnya kepada Allah segera memperingatkannya, sehingga ia berusaha untuk
memperbaiki kesalahannya. Ia berdo’a kepada Allah Yang Maha Pengasih dan
memohon ampun.
Kenyataannya, rasa sesal seorang mukmin
setelah ia berbuat kesalahan pada akhirnya hanya akan menjadi kebaikan. Hal ini
disebabkan ia bukanlah orang yang suka mengasihani diri sendiri seperti
orang-orang kafir, melainkan mencari solusi untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama. Kepatuhan yang ditunjukkan oleh seorang mukmin, imannya kepada
Allah, serta sikapnya yang menyadari bahwa semua peristiwa adalah bagian dari
takdirnya, semua itu merupakan faktor penting dalam pikiran seorang mukmin.
Sikap tersebut membawa dirinya dekat kepada Allah.
Setiap Diri Akan Merasakan Mati
Menurut orang-orang yang bodoh, hal
terburuk yang dapat terjadi pada seseorang adalah mati. Itulah yang paling
menakutkan bagi mereka, yaitu mendekati kematian atau kehilangan seseorang yang
mereka cintai. Bahkan, kematian adalah peristiwa yang sedapat mungkin
dihindari, meskipun orang yang bodoh dapat mengetahui kebaikan dalam peristiwa
tersebut. Baginya, kematian tak pernah menjadi hal yang baik.
Cara pandang masyarakat yang tidak beriman
terhadap kematian adalah sama. Mereka tidak pernah dapat melihatnya dengan cara
pandang yang berbeda. Kematian adalah benar-benar kebinasaan, sedangkan akhirat
hanyalah semata-mata spekulasi.
Bagi orang-orang yang jauh dari kebenaran
agama, kehidupan dunia ini adalah satu-satunya kehidupan. Dengan kematian,
satu-satunya kesempatan telah berakhir. Inilah sebabnya, mereka menangisi
hilangnya orang yang dicintainya. Parahnya, kematian orang yang dicintainya
secara tiba-tiba di usia yang sangat muda, menjadi penyebab kemarahan mereka
kepada Allah dan takdir.
Bagaimanapun juga, orang-orang tersebut
melupakan kenyataan-kenyataan penting. Pertama, tak ada seorang pun di
bumi ini yang mendapatkan semua yang diinginkan. Setiap kehidupan seseorang
adalah milik Allah; setiap orang lahir di waktu yang telah ditakdirkan Allah
sebelumnya dan sesuai kehendak Allah. Inilah sebabnya, Allah—yang kepada-Nya kembali
segala sesuatu di langit dan bumi dan apa yang ada di antaranya—dapat mengambil
kembali jiwa siapa pun yang diinginkannya, kapan pun Dia menginginkannya. Tak
ada seorang pun yang dapat menunda ketentuan Allah. Hal ini dinyatakan di dalam
Al-Qur`an,
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa
menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
(Ali Imran: 145)
Tak peduli cara
berhitung apa pun yang dipakai seseorang atau seaman apa pun tempat tinggalnya,
ia tidak dapat menghindari kematian. Sebagaimana dinyatakan dalam salah satu sabda
Nabi saw., “Jika Allah memutuskan bahwa seseorang akan mati di sebuah
tempat, Allah membuatnya pergi ke tempat itu.” (Tirmidzi)
Seseorang dapat pergi dari dunia ini kapan pun. Demikian pula orang yang
menghindari kematian, tak peduli betapa kerasnya ia berjuang untuk tidak
kehilangan orang yang dicintainya. Bahkan, jika segala daya upaya telah
dilakukan, ia tidak dapat menghindari kematian. Orang tersebut akan menghadapi
kematian di mana pun ia berada, sebagaimana disebutkan dalam ayat,
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memeroleh
kebaikan, mereka mengatakan, ‘Ini adalah dari sisi Allah,’ dan kalau mereka
ditimpa suatu bencana mereka mengatakan, ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu
(Muhammad).’ Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah.’ Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan
sedikit pun?”
(an-Nisaa`: 78)
Karena itu,
solusinya bukan berusaha untuk menghindari kematian, tetapi bagaimana
menyiapkan kehidupan untuk hari akhirat.
Kematian Adalah
Awal, Bukan Akhir
Manusia yang
miskin iman atau mereka yang tidak punya keimanan sedikit pun tentang akhirat,
memiliki pandangan yang salah tentang kematian dan kehidupan setelah itu.
Inilah sebabnya, sebagaimana disebutkan di awal, mereka percaya bahwa saat
mereka kehilangan seseorang (karena kematian), mereka akan kehilangan untuk
selamanya. Karena itu, menurut mereka, orang itu menyatu dengan tanah untuk
sebuah kesia-siaan.
Sebaliknya,
sebagian di antara mereka yang yakin akan kebenaran akhirat boleh saja
menangisi kematian seseorang. Akan tetapi, Allah Mahaadil. Orang yang mati akan
diberikan tabungan amalannya di dunia dan berdasarkan keputusan-Nya orang
tersebut dibalas dengan kebaikan. Karena alasan itulah, bagi orang-orang yang
memiliki keyakinan kepada Allah dan hari akhir-dan karena itu hidup mengabdi
kepada Tuhannya-kematian adalah gerbang menuju kebahagiaan abadi. Akan tetapi,
dari sudut pandang orang yang bodoh, yang menafikan akhirat dan meremehkan hari
pembalasan, kematian adalah gerbang kesengsaraan abadi. Karena itu, sulit bagi
mereka untuk menilai kematian sebagai suatu kebaikan. Bagi seorang muslim,
kematian adalah awal dari sebuah kebebasan penuh.
Karena kematian
dianggap sebagai hal terburuk yang dapat terjadi pada siapa pun, namun
sebenarnya merupakan kebaikan bagi orang-orang beriman, maka reaksi mereka
terhadap kematian dibedakan dengan jelas dari akhlaq atau sikap bodohnya akan hal
itu. Sikap seorang mukmin terhadap kematian digambarkan dengan jelas dalam ayat,
“Dan sungguh jika kamu gugur di jalan Allah atau meninggal,
tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik (bagimu) dari harta rampasan
yang mereka kumpulkan.” (Ali Imran: 157)
Seperti halnya
kehidupan, kematian seorang mukmin juga membawa kebaikan. Dalam pandangan
Allah, tingkatan istimewa menanti seorang mukmin yang syahid saat berjuang
karena-Nya, karena kesyahidan adalah sebuah kemuliaan dan berkah yang
memperbanyak balasan yang akan didapatnya di akhirat. Kematian seorang mukmin
yang menjadikan satu-satunya tujuan hidupnya adalah menggapai ridha Allah dan
mendapatkan surga-Nya, adalah sebuah peristiwa yang agung. Dengan memahami
kabar gembira yang dicantumkan di dalam Al-Qur`an ini, seorang mukmin tidak
pernah menangisi kematian mukmin lainnya yang mati karena Allah. Sebaliknya, ia
melihat kebaikan dan berkah dalam kematian itu, dan mereka bergembira.
Sesungguhnya, balasan terbesar adalah mendapatkan keridhaan Allah dan
surga-Nya.
Seorang mukmin
yang menghabiskan waktunya untuk melayani Allah akan dibalas dengan kebaikan.
Contohnya Nabi Nuh a.s. yang diberi umur panjang oleh Allah. Karena manusia
mulia ini berjuang di setiap detik kehidupannya, ia mendapatkan keridhaan
Allah, kasih, dan surga-Nya. Usahanya dalam menambah balasan pahala di akhirat.
Sebaliknya, kaum
yang kufur cenderung terjerumus ke dalam khayalan semu. Mereka mengira umur
panjang adalah anugerah. Ayat di bawah ini menjelaskan kekeliruan tersebut.
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa
pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.
Sesungguhnya, Kami memberi tangguh kepada mereka supaya bertambah-tambah dosa
mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.”
(Ali Imran: 178)
Mereka yang
menjadi bagian masyarakat bodoh yang menjadikan kesenangan sementara di dunia
ini satu-satunya tujuan hidupnya, menganggap umur yang panjang sebagai
kesempatan untuk menikmati kesenangan dunia. Karena itu, mereka melupakan Allah
dan hari pembalasan. Mereka tidak dapat menangkap nilai waktu yang mereka
habiskan sia-sia. Bagaimanapun juga, seperti yang disebutkan dalam ayat di
atas, waktu yang diberikan kepada mereka sebenarnya menghancurkan diri mereka
sendiri.
Seseorang yang
memikirkan hal ini akan memahami sepenuhnya bagaimana kita bisa menentukan mana
yang baik dan mana yang buruk, sesuai dengan pernyataan Allah, “Bisa jadi
seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik untuknya, dan mungkin seseorang
mencintai sesuatu, padahal itu buruk untuknya.”
Alasan-Alasan
yang Menghalangi
Seseorang
untuk Melihat Kebaikan
Lupa bahwa
Hidupnya Adalah Cobaan
Sebagian orang
mengira bahwa hidup mereka adalah suatu kebetulan semata. Sebenarnya, tidaklah
masuk akal untuk berpikir demikian. Segala sesuatu, termasuk menderita kanker,
tertimpa kecelakaan lalu lintas, mulai dari makanan yang dimakan seseorang
sampai kepada pakaian yang dipakai seseorang, semua itu adalah hal-hal yang
sebelumnya telah ditetapkan khusus atas seseorang. Seperti yang telah kami
tekankan berulang-ulang di sepanjang pembahasan buku ini, semua peristiwa
tersebut–dalam setiap detailnya-khusus diciptakan Allah untuk menguji manusia.
Dalam hal inilah
terlihat perbedaan mendasar antara orang yang kafir dan beriman. Orang-orang
beriman memiliki pandangan yang sangat berbeda terhadap apa yang terjadi pada
mereka dan apa yang terjadi di sekeliling mereka. Pandangan ini sepenuhnya
seperti apa yang diperintahkan Al-Qur`an, yaitu menganggap setiap kejadian
sebagai bagian dari ujian. Karena itu, dengan menyadari bahwa mereka sedang
diuji, orang-orang mukmin berusaha untuk mengarahkan dirinya menuju jalan yang
diridhai-Nya.
Orang yang tetap
tidak acuh terhadap kebenaran Islam, ia membuat tujuan-tujuan sesat bagi dirinya
sendiri (masuk perguruan tinggi yang terkenal, menikah dan berbahagia,
memasukkan anak mereka ke sekolah, memperbaiki standar hidup, mencapai status
dalam masyarakat, dan lain-lain). Semua itu memiliki satu kesamaan, yakni hanya
berhubungan dengan dunia. Rencana dan aspirasi orang yang menjadikan
tujuan-tujuan seperti itu sebagai tujuan hidup utama, terbatas pada pandangan
yang dangkal ini. Hal ini karena pengetahuan kebanyakan orang hanya terbatas
pada eksistensi dunia. Sebenarnya, anggapan mereka tidaklah benar. Bahkan, jika
seseorang meraih semua tujuan yang telah ia rencanakan, hidupnya berakhir pada
titik yang tak dapat dielakkan: kematian. Maka dari itu, kehidupan yang hanya
tertuju pada dunia adalah kehidupan yang sia-sia, kecuali sebaliknya seperti
yang diinginkan oleh Allah.
Seseorang yang
menjalani hidup seperti ini bahkan tidak akan pernah mendapatkan segala yang
diinginkannya. Ini adalah hukum abadi Allah. Tak ada satu pun di bumi ini yang
lepas dari kehancuran. Tak ada satu pun di bumi ini yang lepas dari waktu. Contohnya
buah yang perlahan menghitam dan membusuk setelah dipetik dari tangkainya.
Sebuah rumah yang dibangun dengan sungguh-sungguh selama bertahun-tahun pada
akhirnya tidak akan dapat ditempati. Tubuh manusia dengan mudah terkena
pengaruh waktu yang merusak. Setiap orang terkena pengaruh waktu pada fisiknya.
Rambut yang memutih, tidak berfungsinya organ tubuh, berkerutnya kulit, dan
banyak tanda penuaan lainnya. Semua itu adalah tanda-tanda yang mengindikasikan
adanya kematian.
Selain itu,
kehidupan manusia yang jarang melampaui 6-7 dekade dapat diakhiri dengan
tiba-tiba. Peristiwa yang tidak diharapkan, seperti kecelakaan lalu lintas atau
penyakit fatal, dapat kapan saja mengakhiri kehidupan manusia. Seperti yang telah
kami sebutkan sebelumnya, tak peduli bagaimanapun seseorang akan berjuang
menghindari kematian, pada akhirnya ia akan menemui penghabisan yang tak dapat
dielakkan: kematian. Tak peduli apakah ia gadis yang cantik atau seorang yang
terkenal, tak ada satu pun orang yang dapat menghindarinya. Tidaklah kekayaan,
harta kepemilikan, anak, teman, atau apa pun, yang dapat melindungi seseorang
dari kematian.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya, kematian yang kamu lari darinya,
maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia
beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (al-Jumu’ah: 8)
Itu berarti
hidup di dunia ini adalah sementara dan dunia ini bukanlah tempat terakhir
manusia. Karena itu, seorang manusia harus mengorientasikan semua usaha dalam
hidupnya untuk akhirat saja.
“Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah
kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka
bertawakal.”
(asy-Syuura: 36)
Jika kita
mengetahui bahwa hidup di dunia ini adalah sementara dan tubuh manusia akan
dimakan oleh kematian, kita dibawa pada satu hal yang mesti kita renungkan,
yaitu tujuan penciptaan manusia di bumi. Dalam ayat ini, diberitahukan bahwa Allah
membuat tujuan itu mudah,
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu,
siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha
Pengampun.”
(al-Mulk: 2)
Dalam banyak
ayat di dalam Al-Qur`an, Allah memperjelas bahwa manusia diciptakan untuk
menjadi hamba-Nya. Ia juga menekankan bahwa kehidupan dunia ini adalah ujian
dan telah dibuat untuk membedakan kebaikan dari kejahatan.
“Sesungguhnya, Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka
yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahfi: 7)
Karena seluruh
hidup manusia adalah bagian dari ujian, tak ada satu pun kejadian yang
menimpanya yang merupakan ketidaksengajaan. Jika seseorang tidak dapat memahami
bahwa ada maksud di balik peristiwa-peristiwa itu dan malah mengira bahwa hal
itu terjadi dengan sendirinya—terpisah dari campur tangan Allah—maka ia telah
melakukan kesalahan. Hal ini karena semua peristiwa yang terjadi dalam tiap
detik kehidupan sebenarnya adalah ujian yang Allah rencanakan bagi dirinya.
Manusia bertanggung jawab atas reaksi dan sikapnya terhadap ujian tersebut.
Cara ia mengarahkan dirinya dan menunjukkan moralitasnya, menentukan balasan
atau hukumannya di kehidupan akhirat.
Bahwa tak satu
pun pengalaman—kecil ataupun besar, berarti atau tidak—terjadi secara kebetulan
dan bahwa segala yang terjadi dalam kehidupan kita telah ditentukan sebelumnya
dalam takdir kita, semua itu adalah kenyataan yang harus diingat oleh
seseorang. Selama itu diingatnya, ia tidak akan pernah lupa bahwa segala yang
ia temui dalam kehidupan pada hakikatnya adalah baik untuknya. Dengan demikian,
apa yang ia hadapi hanyalah apa yang Allah kehendaki baginya. Kesimpulannya,
penting kiranya untuk mengingat bahwa dunia ini adalah tempat ujian yang
dengannya kita diharapkan dapat melihat kebaikan dan maksud Ilahiah dalam
kehidupan ini.
-
Allah Tidak Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya
Allah menguji setiap manusia dengan
ujian yang berbeda, beragam jenisnya, serta melalui pengenalan yang berbeda
pula. Akan tetapi, perlu disebutkan bahwa Allah Mahaadil dan Dia sabar dalam
menghadapi hamba-hamba-Nya (al-Halim). Dia tak pernah membebani seseorang
melebihi apa yang ia mampu. Ini adalah janji Allah,
“Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut
kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran,
dan mereka tidak dianiaya.” (al-Mu`minuun: 62)
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang
saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar
kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di
dalamnya.”
(al-A’raaf: 42)
Penyakit,
kecelakaan, semua bentuk tekanan, dan segala macam ujian yang dihadapi seseorang
dalam kehidupan dunia, adalah dalam rangkaian batasan kemampuan seseorang untuk
mengatasinya. Akan tetapi, jika seseorang memilih untuk mengingkari dan tidak
bersyukur kepada Allah dan lebih memilih perbuatan setan daripada memelihara
nilai-nilai mulia Al-Qur`an–misalnya kesabaran-maka pada akhirnya ia akan
menanggung balasannya.
Dalam beberapa
kasus, seseorang bisa saja merasa bahwa ia telah melakukan segala cara yang
memungkinkannya untuk keluar dari masalah, namun ia tidak melihat jalan keluar.
Karena ia tidak ingat bahwa tetap ada kebaikan dalam peristiwa tersebut, ia
memberontak dan marah. Ini semata-mata merupakan rasa yang tak berguna yang
diembuskan oleh setan. Apa pun yang dihadapinya dalam hidup ini, seorang mukmin
yang ikhlas harus tetap ingat bahwa ia dihadapkan pada situasi yang di dalamnya
ia dapat menetapi kebajikan dan kesabaran. Jika ia putus asa, itu hanyalah tipu
daya setan. Allah memerintahkan hamba-Nya untuk tidak berputus asa.
“Dan tidaklah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan
rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya, pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Katakanlah,
‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya, Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya
sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).’” (az-Zumar:
52-54)
Seseorang yang
menerima dan berusaha menetapi perintah Allah tersebut mengetahui bahwa dari
kebaikan akan timbul kebaikan pula. Seseorang yang putus asa akan sendirian di
dunia ini dan tidak mempunyai jalan keluar. Allah mengatakan pada kita bahwa
mereka yang putus asa terhadap kasih Allah adalah orang-orang yang tidak
beriman,
“Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan
pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat
siksa yang pedih.”
(al-‘Ankabuut: 23)
“… dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya,
tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” (Yusuf:
87)
Dalam menetapi
perintah Allah, seorang mukmin tidak boleh berputus asa, tetapi harus mencoba
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa yang terjadi di
sekitarnya melalui perenungan. Ketika seorang mukmin menemukan kesulitan,
kesulitan itu membuatnya sadar bahwa ada kebaikan di dalamnya dan ia memastikan
bahwa selama cobaan itu, ia menjadi bersemangat, sabar, pemurah, setia, tekun,
pengasih, dan penuh pengorbanan. Karena itu, sekarang ini adalah saat seorang
mukmin melatih rasa percayanya kepada Allah. Mengetahui bahwa saat di akhirat,
ia dianugerahi surga sebagai balasan atas kebaikan sikapnya di dunia,
bertambahlah sumber kebahagiaannya. Seseorang yang telah diuji di dunia akan
mengatasi kesulitan dengan ketegaran. Ia menerima berkah dan janji surga, dan
begitu menghargai keduanya. Karena itulah, ia menikmati kebahagiaan di dalam
semua itu. Penting untuk diingat bahwa seseorang yang mengalami kesulitan tidak
dapat menghargai kemudahan, bahkan jika mampu pun, ia tidak pernah memiliki
perasaan yang mendalam sebagai orang yang telah melewati banyak kesulitan
hidup.
Karena itu, setiap kesulitan yang dialami seseorang
pada akhirnya akan menjadi sember kebahagiaaan di akhirat.
Karena itu, sikap sabar, bijaksana, logis, stabil,
memaafkan, menyayangi, semuanya menujukkan tingkatan kemuliaan seorang mukmin
dan menawarkan kebahagiaan kepada manusia yang hanya didapatkan dari keimanan.
Atas izin Allah, kebahagiaan ini akan dinikmati selamanya.
- Setiap
Kemalangan yang Menimpa Manusia Berasal dari Dirinya Sendiri
Orang yang tidak mengamalkan akhlaq yang
diperintahkan di dalam Al-Qur`an sering menunjukkan ciri sifat yang sama. Jika
segala sesuatu berjalan sesuai kehendak, mereka mengira semua itu terjadi
karena diri mereka sendiri. Mereka bangga atas apa yang terjadi sesuai kehendak
mereka. Namun, saat kesialan menimpa, mereka mencari-cari kambing hitam. Tetapi
Allah Mahaadil, orang itu sendirilah yang pada akhirnya bertanggung jawab atas
setiap kemalangan yang menimpanya, seperti yang ditunjukkan oleh ayat berikut:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah nikmat dari Allah,
dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami
mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusiaa. Dan cukuplah Allah menjadi
saksi.”
(an-Nisaa` 79)
Al-Qur`an memberikan beragam contoh untuk
menjelaskan bagaimana orang-orang kafir membolak-balikkan pemahaman atas segala
sesuatu yang terjadi. Sebagai contoh, Allah berfirman kepada kita dalam surat
al A’raf bahwa Fir’aun dan sifat-sifat setannya menjadi makar atas Musa a.s.
dan kaumnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah sumber kejahatan.
“Kemudian apaabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka
berkata, ‘Ini adalah karena (usaha) kami’. Dan jika mereka ditimpa kesusahan,
mereka melemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang
besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari
Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (al-A’raaf:
131)
Sebagaimana contoh yang dituliskan dalam ayat di
atas, dalam kondisi apa pun, orang yang jauh dari moralitas Al-Qur`an
mencari-cari kambing hitam. Mereka mengabaikan kesalahan mereka sendiri dan
menuduh orang lain. Bagaimanapun juga, seperti apa yang Allah firmankan dalam
ayat di atas, merekalah yang sebenarna bertanggung jawab atas kejahatan
tersebut. Jika orang-orang ini menafsirkan kejahatan sebagai kebaikan dan
sebaliknya, maka merekalah yang harus disalahkan.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking