SEJARAH SINGKAT DARWINISME
(PAGE 2)
Sebelum menelaah berbagai
penderitaan dan bencana yang ditimpakan Darwinisme kepada dunia, marilah kita
mempelajari sejarah Darwinisme secara sekilas. Banyak orang percaya bahwa teori
evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang
didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya.
Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh
karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia,
saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul
dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah
kepercayaan tentang “evolusi”. Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari
zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan
dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu.
Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan
diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan
kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain,
menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda
tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan
berkembang.
Kita dapat memahami betapa
kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: “makhluk hidup
berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup.” Dari sini kita dapat memahami
bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa
Sumeria penyembah berhala.
Di kemudian hari, mitos evolusi
tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf
materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya.
Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk
menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat
materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno.
Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang
masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di
dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari
karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir
ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali
mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean
Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru,
Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain
melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang
pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut
dalam bukunya The Origin of Species,
yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang
diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat
bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul
di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui
perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak
diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil,
khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun
demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan
banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya
telah memberikan landasan berpijak ilmiah – yang dahulunya belum diketemukan–
bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.
Alasan
Ideologis Penerimaan Darwinisme
Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu
masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem
teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana
waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan
bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.
Demikian pula,
catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa
mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui
perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan
fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti
apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan
makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para
evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut
dengan berdalih, “Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang.” Tetapi,
mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan
ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab “Kekeliruan Teori Evolusi”)
Apapun yang terjadi, keyakinan para
Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin
telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka
melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara
turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang
menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui
propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini
telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori
Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori
evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan
pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan
pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari
filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan
melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan
Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis
dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun,
pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan ‘ilmiah’ yang
diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi
sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut
berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka
sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme
terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai
ideologi materialistis abad ke-19: “Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh
perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh
yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah.”
Kaitan erat Darwinisme dengan
ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia
diungkap dengan jelas dalam bagian ini.
Darwinisme
Sosial : Penerapan Hukum
Rimba
Dalam Kehidupan Manusia
Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi
adalah “perjuangan untuk mempertahankan hidup” sebagai pendorong utama
terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi
perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah
sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini
mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. “The
Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured
Races in the Struggle for Life” (“Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau
Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.”)
Yang mengilhami Darwin tentang hal
ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan
masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus,
jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya
akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan
bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya
kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah
bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian
orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan
hidup berarti “perang tanpa henti”.
Menurut Darwin buku Malthuslah yang
mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi
mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah
saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus
tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami
bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana,
berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan
tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi
menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah.
Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan
sebuah teori yang dapat saya pakai.2
Pada abad ke-19, gagasan Malthus
telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas
atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang
diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum
dalam artikel The Scientific Background
of the Nazi “Race Purification” Programme (Latar Belakang Ilmiah Program “Pemurnian Ras” oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa,
para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan “masalah
kependudukan” yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran
Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: “Sebagai ganti
ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan
kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan
jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah,
dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun
desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan
pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat,” dan seterusnya,
dan seterusnya.3
Akibat kebijakan biadab ini, yang
kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup,
dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di
Inggris pada abad ke-19, program “penjejalan
orang-orang miskin” ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri
didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun
bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari
mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang
“perjuangan untuk mempertahankan hidup” yang dianggap penting dalam teori
Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup
penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran
Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan
bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat
dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua
tanaman, binatang, dan manusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk
mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah
berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan
keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk
meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban
dalam “perjuangan untuk mempertahankan hidup.”
Karena alasan inilah teori Darwin
mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut
baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara
keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut
hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan
sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya.
Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama
dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi
hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan
yang mendasari adalah semboyan “perjuangan untuk bertahan hidup” dan “kelangsungan
hidup bagi yang terkuat”; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan
dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan
berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di
masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme
mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik
hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang
ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang
tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak
memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan
sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking