Takdir yang Disalahpahami
Selama hidupnya, orang terus-menerus merencanakan
masa depan mereka, bahkan keesokan harinya atau sejam berikutnya. Pada waktu
tertentu, rencana ini berjalan seperti apa yang direncanakan. Tetapi,
kadangkala mereka tak dapat mencapainya karena hal-hal yang tidak diharapkan.
Mereka yang jauh dari ajaran Islam mengangap hal tersebut sebagai kesulitan
yang tidak disengaja.
Sebenarnya,
tak ada rencana yang pasti terselesaikan, ataupun kesulitan yang tak dapat
dicegah. Semua kejadian yang dihadapi seseorang dalam hidupnya telah ditentukan
sebelumnya oleh Allah dalam takdirnya. Hal ini disebutkan dalam ayat berikut,
“Dia meengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan)
itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (laamanya) adalah seribu
tahun menurut perhitunganmu.” (as-Sajdah: 5)
“Sesungguhnya, Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran.”
(al-Qamar: 49)
Seorang mukmin salah mengira bahwa hari-hari yang
dilaluinya adalah apa yang telah ia rencanakan sebelumnya. Kenyataan sebenarnya
adalah bahwa ia hanya menyesuaikan diri dengan takdir Allah yang telah
ditetapkan atasnya. Bahkan jika seseorang mengira bahwa ia telah berperan dalam
sebuah situasi, ia menganggap ia dapat mengubah takdirnya. Sebenarnya ia
mengalami momen lain yang telah ditakdirkan untuknya. Tak ada satu waktupun
dalam kehidupan kita terjadi di luar takdir. Seseorang yang sedang koma, tak
lama kemudian meninggal karena Allah telah mentakdirkannya demikian. Sedangkan
orang dengan kondisi yang sama sembuh berbulan-bulan kemudian karena ia telah
ditakdirkan demikian pula.
Bagi orang yang tak benar-benar mengerti arti
takdir, semua peristiwa terjadi karena ketidaksengajaan. Ia salah mengasumsikan
bahwa segala yang ada di alam semesta ini mandiri keberadaannya. Itulah mengapa
ketika ia terkena bencana, ia menganggapnya sebagai suatu kesialan.
Meski demikian, manusia terbatas kearifan dan
pemahamannya, ia bahkan dibatasi oleh ruang dan waktu. Di sisi lain, semua yang
menimpa seseorang telah direncanakan oleh Allah swt., Pemilik Kebijaksanaan
Yang Tak Terbatas, Dia yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
“Tak ada suatu bencanapun yang menimpa di muka bumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah.”
(al-Hadiid: 22)
Pada dasarnya, apa yang harus dilakukan seseorang
adalah menyerahkan dirinya pada akdir yang telah ditetapkan oleh penciptanya,
dan tetap menyadari bahwa segalanya akan berakhir. Sesungguhnya, orang yang
benar keimanannya menggunakan setiap detik kehidupan mereka dengan mengakui
kenyataan bahwa apa pun yang terjadi, semuanya merupakan bagian dari takdir
mereka, dan bahwa Allah telah merencanakan keadaan tersebut dengan
maksud-maksud tertentu. Mereka terus mengambil manfaat dari pandangan yang
positif ini. Mereka bahkan menilainya sebagai suatu kebaikan. Akhlaq mulia dan
penyerahan diri total yang dijalankan oleh orang-orang beriman dijelaskan di
dalam Al-Qur`an sebagai berikut,
“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan
apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan
hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (at-Taubah:
51)
Pada akhirnya, seseorang tidak akan pernah bisa
mencegah terjadinya suatu peristiwa, baik ia menilainya sebagai suatu kebaikan
ataupun keburukan. Jika ia melihat kebaikan dalam segala hal, maka ia akan
selalu mendapatkan manfaat. Jika sebaliknya, ia hanya akan membahayakan dirinya
sendiri. Menyesal atau memberontak tak akan mengubah apa pun dalam takdir
seseorang. Karena itulah, tanggung jawab seorang manusia sebagai abdi Allah
adalah untuk menyerahkan dirinya kepada keadilannya yang tak terbatas dan
takdir yang telah ditentukan-Nya demi untuk menghargai semua peristiwa sebagai
suatu kebaikan dan orang yang demikian menyaksikan takdirnya dengan hati yang
tenang dan damai.
Setan Berusaha
Menghalangi Manusia
untuk Menyadari
Kebaikan
Di
dalam Al-Qur`an, Allah mengatakan bahwa setan sangatlah kufur dan suka melawan.
Kita juga belajar dari Al-Qur`an bahwa setan akan mendekati manusia dari setiap
arah dan ia akan berusaha dengan segala cara untuk membawa manusia kepada
kebejatan moral. Metode yang paling sering dilakukan setan dalam rencana
jahatnya adalah menghalangi manusia dari melihat kebaikan dalam segala
peristiwa yang menimpanya. Dengan cara demikian, ia juga berusaha untuk
menyesatkan manusia kepada pemberontakan dan kekufuran. Orang yang tidak mampu
memahami keindahan akhlaq Al-Qur`an akan jauh dari ajaran Islam dan mereka yang
menghabiskan hidup mereka untuk mengejar kesia-siaan dan melupakan akhirat akan
mudah jatuh ke dalam perangkap setan.
Setan menyerang kelemahan manusia dan membisikkan
tipu daya yang menyenangkan kepada manusia. Ia memanggilnya untuk melawan Allah
dan takdir-Nya. Sebagai contoh, seorang mungkin tidak akan merasa kesulitan
untuk melihat bahwa tetangganya terkena musibah karena itu adalah bagian dari
takdirnya. Namun, dia mungkin tidak bersikap demikian saat ia atau kelurganya
tertimpa musibah yang sama. Karena hasutan setan, ia lebih mudah melawan kepada
Allah. Seseorang harus melatih kesabarannya supaya ia dapat berusaha melihat
kebaikan dalam semua peristiwa, untuk menunjukkan ketundukan dan kepercayaannya
kepada Allah. Ketidakmampuan untuk melatih kesadaran seseorang hanya akan membawa
kepada sikap yang salah.
Usaha setan untuuk menghalangi manusia untuk melihat
kebaikan dengan perbuatan mereka sendiri. Sebagai contoh, setan berusaha untuk
meletakkan rasa takut di dalam hati seseorang yang ingin memanfaatkan
kekayaannya karena Allah. Godaan setan ini disebutkan di dalam ayat berikut,
“Setan menjanjikan (manakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan
dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu
ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui.”
(al-Baqarah: 268)
Bagaimanapun juga, semua perasaan itu adalah
sia-sia. Rencana rahasia setan ini tidak dapat mempengaruhi orang-orang
beriman, karena tujuan mereka dalam menggunakan kekayaannya bukanlah untuk
mendapatkan keuntungan dunia ataupun kesenangannya sendiri. Tujuan utamanya
adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah, rahmat, dan jannah-Nya. Karena
itulah, setan tidak dapat menipu orang-orang beriman dengan bisikan yang
sia-sia. Dalam ayat berikut dinyatakan bahwa setan tidak dapat mempengaruhi
orang-orang beriman,
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya,
orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A’raaf:
200-201)
Dari hal-hal tersebut
di atas, kita harus memahami bahwa setan memakai dua cara untuk menghalangi
manusia dari perbuatan baik. Pertama-tama, ia berusaha menghalangi kebaikan dan
perbuatan yang bermanfaat, dan menyodorkan kesengan dunia sebagai tujuan hidup
satu-satunya. Kemudian, ia bersungguh-sungguh menghalangi manusia dari melihat
kebaikan dan maksud yang terkandung di balik setiap peristiwa.
Bagaimanapun juga,
begitu banyak keberkahan yang diberikan cuma-cuma kepada seseorang hingga ia
tidak akan bisa menghitungnya. Sejak lahir, manusia dianugerahi keberkahan yang
tak terhitung dari Tuhannya, anugerah yang tidak ada henti sepanjang hidupnya.
Itulah mengapa, orang beriman yang menjadikan Tuhan mereka sebagai satu-satunya
kawan dan pelindung mereka akan memberikan rasa percaya mereka sepenuhnya
kepada Allah. Ketika sesuatu terjadi tidak sesuai keinginan, mereka sadar bahwa
ada kebaikan di dalamnya. Mereka bersabar bahkan sekalipun saat mereka tidak
bisa langsung menemukan maksud Ilahiah di balik kejadian tersebut. Seperti yang
dikatakan Nabi saw., “Mintalah
pertolongan Allah dari kesulitan akan malapetaka yang hebat.” (Bukhari).
Tak peduli apa pun yang terjadi pada mereka, orang-orang beriman tidak pernah
memberontak atau bahkan mengeluh. Mereka selalu mengingat bahwa kejadian yang
berlawanan dengan keinginan mereka itu akan menjadi keberkahan bagi mereka. Dan
dengan kehendak Allah, kesulitan tersebut pada akhirnya terbukti menjadi tolak
ukur utama dalam kehidupan mereka dan membawa kepada keselamatan abadi.
Contoh-Contoh
Kehidupan Nabi
dan
Orang-Orang Beriman
Perjuangan melawan
orang kafir menjadi dasar utama perjuangan pada nabi dan orang-orang beriman
yang mengikutinya. Orang-orang mulia ini berhadapan dengan berbagai peristiwa
yang kelihatannya tidak menguntungkan. Namun, saat menghadapi cobaan-cobaan
tersebut, muncullah sifat-sifat istimewa mereka. Tak peduli bagaimanapun
keadaannya, mereka merasakan kedamaian dan kenyamanan karena mengetahui bahwa
tak ada satu pun yang lepas dari Allah. Pemahaman ini menolong mereka untuk
selalu bersikap positif.
Rasul Allah dan orang
beriman memastikan kehidupannya pada kenyataan bahwa Allah akan menolong mereka
melewati masa sulit dan bahwa segalanya pada akhirnya akan menjadi karunia bagi
mereka. Mereka menjadikan kenyataan tersebut sebagai dasar semua pandangan
mereka.
Fitnahan Orang-Orang Kafir
Sebagaimana telah kita
pelajari dari Al-Qur`an, orang-orang beriman menghadapi sekelompok orang kafir
dan munafik yang menggunakan berbagai cara untuk menyesatkan mereka dari jalan
yang benar. Al-Qur`an memberika contoh rinci tentang penghinaan dan umpatan
yang digunakan oleh orang-orang kafir,
“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan
dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah,
gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa,
maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (Ali
Imran: 186)
Dalam ayat di atas,
Allah menjelaskan bahwa kebohongan dan fitnah yang ditujukan kepada orang-orang
beriman sebenarnya baik bagi mereka. Dalam ayat lainnya, Allah menghubungkan
kenyataan tersebut dengan contoh lain di masa Nabi saw.,
“Seseungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu
buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (an-Nuur: 11)
Keadaan yang dihadapi
oleh orang-orang beriman di masa lalu ini merupakan taktik yang dimainkan oleh
para kaum kafir untuk menghalangi dan menjauhkan mereka dari ketaatan pada
prinsip-prinsip Islam. Namun, orang-orang beriman tetap teguh menyakini bahwa
maksud jahat ini pada akhirnya akan terungkap dan menguntungkan orang-orang
beriman. Itulah mengapa mereka merespon fitnah mereka dengan sikap biasa saja
dan bijaksana. Tak sekalipun mereka lupa bahwa kesabaran dan rasa percaya
mereka pada Allah akan membawa kepada keberhasilan. Mereka menyadari –seperti
yang dikatakan oleh Nabi s.a. w., “Barangsiapa yang tetap bersabar, Allah
akan membuatnya sabar. Tak ada karunia yang lebih baik daripada kesabaran.” (HR
Bukhari)
Sebagaimana
contoh-contoh di masa lalu tersebut, sangatlah penting bagi orang-rang beriman
sekarang ini untuk menyerahkan diri mereka akan kebenaran bahwa segalanya
berjalan sesuai dengan maksud Ilahi. Seorang mukmin yang hidup dengan
prinsip-prinsip ini juga akan mendapat ganjaran terbesar di dunia. Karena Allah
berjanji untuk menolong hamba-Nya yang percaya pada-Nya. Dan Dia memastikan
bahwa mereka tidak akan menemukan jalan keluar lainnya selain dengan-Nya.
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat
mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka
siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu?
Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (Ali
Imran: 160)
Tekanan Fisik
dari Orang-Orang Kafir
Sepanjang sejarah,
masyarakat kafir selalu menganggap bahwa komitmen kaum mukminin terhadap agama
Allah, cara hidup mereka dengan prinsip-prinsip Islam, serta penyebaran risalah
Allah ini adalah ancaman bagi mereka. Itulah mengapa, demi untuk menghancurkan akhlaq
kaum mukminin mereka melakukan cara-cara yang jahat seperti memfitnah dan
menipu daya. Jika cara-cara demikian gagal, mereka tidak sungkan-sungkan
melakukan cara-cara yang lebih keras, seperti mengancam, menyekap, dan
menangkap atau menyeret kaum mukminin keluar dari rumah mereka.
Perlakuan buruk yang
diterima kaum beriman dalam perjuangan mereka dengan orang-orang kafir adalah
bukti betapa orang-orang kafir itu tidak tahu malu. Namun orang-orang mukmin
selalu menemukan kebaikan dalam perlakuan kasar yang mereka terima. Mereka tahu
bahwa Allah pasti telah menggariskan hal tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu.
Mereka sangat sadar bahwa kebajikan yang benar adalah dengan bersabar dan yakin
kepada Allah. Allah menggambarkan hal ini dalam ayat berikut,
“Bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu
suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu adalah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa.” (al-Baqarah:
177)
Sebagian dari sifat
positif yang istimewa ini diilustrasikan dalam surat al Ahzab, dihubungkan
dengan peristiwa yang terjadi di zaman nabi Muhammad saw.. Menurut kisah
tersebut, selama pertempuran orang-orang mukmin diuji dan didera penderitaan
saat kaum kafir menyerang mereka dari segala penjuru. Dalam keadaan demikian,
kaum munafik dan mereka yang memiliki penyakit di hatinya memberikan berbagai
alasan yang menujukkan siapa diri mereka sebenarnya.
Dalam kondisi
demikian, kaum munafik yang telah berbaur selama beberapa waktu dengan
komunitas kaum mukminin ini mulai dikenali. Orang-orang seperti itu, tak ada
bedanya dengan sel-sel kanker yang menggerogoti tubuh. Mereka cepat sekali
mundur di saat-saat sulit, walaupun pertolongan dan rezeki Allah selalu
diberikan kepada orang-orang beriman.
Sementara kaum munafik
menghina, orang-orang beriman yakin akan kebaikan dalam kesulitan yang mereka
hadapi. Seorang mukmin menyadarkan diri mereka sendiri untuk menjalankan apa
yang diperintahkan di dalam Al-Qur`an, dan mencapai tingkat keimanan dan
kesetiaan kepada Allah yang lebih tinggi.
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan
yang bersekutu itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya
kepada kita’. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah
kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (al-Ahzab: 22)
Sebagaimana yang
dicontohkan di atas, ujian dapat menjadi sebuah keberkahan yang besar bagi
orang-orang beriman, sementara bagi mereka yang tidak dapat menghargai
kebaikan, ujian yang sama dapat menyesatkan mereka kepada kekufuran. Padahal
ujian tersebut diberikan untuk menghapuskan usaha-usaha kaum kafir serta untuk
membedakan kebaikan dari kejahatan. Dalam surat al Ahzab dikisahkan tentang
orang beriman yang tidak mampu mencapai keberhasilan, karena itu ia marah dan
dengki,
“Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan
mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memeroleh keuntungan apapun. Dan
Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. Dan adalah Allah Mahakuat
lagi Mahaperkasa.”
(al-Ahzab: 25)
Hijrahnya Kaum
Muslimin
Meninggalkan harta dan
hijrah ke tempat lain jika memang diperlukan adalah merupakan bentuk
penghambaan yang disebutkan di dalam Al-Qur`an. Karena itu, kaum muslimin yang
berhijrah karena Allah selalu melihat kebaikan dalam “kepindahan terpaksa”
mereka. Sesungguhnya, di dalam Al-Qur`an disebutkan bahwa hijrah karena Allah
dilakukan oleh mereka yang mengharapkan kasih sayang Allah.
“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman, berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)
Orang yang bodoh
mengira bahwa perginya seseorang dari tanah kelahiran karena kerusuhan atau
pembuangan ke negeri yang asing adalah merupakan sebuah kemalangan, dan
benar-benar melemparkan kehidupan seseorang kepada kehancuran. Namun mesti
disebutkan bahwa kaum mukminin menyadari sejak awal bahwa mereka akan dibenci
oleh kebanyakan orang yang menafikan agama Allah. Maka dari itu, tekanan yang
demikian sebenarnya merupakan manifestasi kebenaran ayat-ayat Allah. Itulah
mengapa orang-orang beriman yang berhijrah atau terpaksa meninggalkan rumah
mereka selalu menghadapi kondisi demikian dengan penuh semangat dan pengharapan
yang besar. Akhlaq mulia orang-orang beriman yang hidup di zaman Nabi saw. dan
keimanan mereka yang tak tergoyahkan adalah merupakan contoh-contoh terbaik
bagi kita. Dengan menyadari bahwa kepatuhan kepada Nabi saw., mereka akan
mendapatkan keridhaan Allah. Mereka sudi memikul penderitaan dan semua
kesusahan dengan senang hati. Demi kebaikan kaum muslimin, mereka tidak sungkan
meninggalkan negeri mereka dan mengabaikan semua harta dunia mereka.
Sebagai balasan atas
akhlaq istimewa mereka, Allah juga memberikan kabar gembira dengan limpahan
kebaikan dan rezeki di dunia. Hal ini disebutkan di dalam Al-Qur`an sebagai
berikut,
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.
Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang
dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (an-Nisaa` 100)
“(Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan saja
mereka bertawakal. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl:
41-42)
Contoh Keimanan
Nabi Muhammad
Nabi Muhammad saw.,
seperti halnya nabi-nabi sebelumnya, menghadapi berbagai kesukaran sepanjang
hidupnya. Ia menjadi contoh terbaik bagi semua muslim akan kesabaran dan
keimanannya kepada Allah. Sebuah peristiwa diceritakan dalam Al-Qur`an tentang akhlaq
mulia dan keimanan Nabi Muhammad saw..
Ketika Nabi saw.
meninggalkan kota Mekkah, kaum kafir membujuknya dan bermaksud membunuhnya.
Nabi beristirahat dalam sebuah gua. Dalam pencarian mereka, orang-orang kafir
menghampiri gua tersebut. Dalam kondisi yang sulit itupun, Nabi saw. menasehati
sahabatnya untuk tidak khawatir dan mengingatkannya untuk meyakini Allah,
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah)
mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika
keduanya berada dalam gua, di waktu ia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu
berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan
ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak
melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah.
Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah:
40)
Satu-satunya alasan
mengapa Nabi saw. tidak merasa ketakutan atau tertekan saat hidupnya
jelas-jelas dalam bahaya adalah karena keyakinannya pada Allah, bahwa Dia
menetapkan takdir seseorang untuk maksud tertentu. Pada akhirnya, beliau sampai
di Madinah dengan selamat, dan dengan demikian dimulailah babak hijrah, sebuah
titik tolak sejarah Islam.
Akhlaq Mulia Nabi Musa a.s.
Al-Qur`an menunjukkan
kisah perjuangan Nabi musa menghadapi Fir’aun yang dikenal sebagai penguasa
yang paling zalim dalam sejarah. Fir’aun merespon panggilan Allah yang
disampaikan kepadanya lewat Nabi Musa a.s. dengan ancaman siksaan. Tingginya akhlaq dan keyakinan Nabi Musa a.s. kepada Allah-
yang menggunakan berbagai cara untuk mengajaknya ke jalan yang benar adalah sebuah
contoh bagi semua orang beriman.
Al-Qur`an
menjelaskan masa kenabian Nabi Musa sebagai berikut: Fir’aun yang berkuasa di
Mesir memberlakukan kekuasaan absolut atas rakyat Bani Israil. Di sisi lain,
Musa a.s. dan kaumnya adalah kaum minoritas di negeri itu. Karena itulah, dari
sudut pandang orang bodoh yang menilai sesuatu hanya dari penampakannya, ia
akan salah mengira bahwa kekuatan dan kekuasaan akan menang. Ia mengira Fir’aun
yang akan menang. Namun itu semua adalah delusi karena Allah memerintahkan hal
berikut:
“Allah telah menetapkan, ‘Aku dan rasul-Ku pasti menang’. Sesungguhnya,
Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa’. (al-Mujadalah: 21)
Allah menepati
janji-Nya pada para Nabi dan memberikan kemenangan kepada Nabi Musa a.s. dalam
melawan Fir’aun. Allah membantunya sebagaimana saudaranya Harun, dengan
sebaik-baik perlindungan-Nya. Dan Allah memberikan mukjizat kepada Musa a.s.
untuk menempa dan mengistimewakan Musa dari yang lain dengan berbicara langsung
kepadanya. Kita dapat mengambil pelajaran dari perjuangan Nabi Musa sebagaimana
dituliskan di dalam Al-Qur`an. Hal ini jelas menunjukkan bagaimana sesuatu yang
mungkin muncul bagi orang-orang mukmin dengan seijin Allah dapat segera menjadi
keberkahan bagi mereka.
Ada sebuah
peritiwa ketika Fira’aun dan pasukannya berniat menangkap Musa a.s. dan kaumnya
setelah melewati Mesir. Saat orang-orang Bani Israil telah mencapai lautan,
Fir’aun dan tentaranya hampir saja menangkap mereka. Pada saat itu, kalimat
Nabi Musa a.s. sangatlah ajaib. Walau Fir’aun dan tentaranya nyaris menangkap
mereka, dan tak ada lagi kesempatan menyelamatkan diri, Musa tidak putus asa
akan pertolongan Allah. Ia mempertahankan kesabaran yang patut dicontoh. Kisah
ini diceritakan di dalam Al-Qur`an sebagai berikut:
“Maka Fir’aun dan bala tentaranya dapat menyusul mereka di
waktu matahari terbit.Maka setelah kedua golongan itu saling melihat,
berkatalah pengikut-pengikut Musa, ‘Sesungguhnya, kita benar-benar akan
tersusul.’ Musa menjawab, ‘Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya
Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku’. Lalu kami
wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu’. Maka terbelahlah
lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di
sanalah Kami dekatkan golongan yang lain itu. Sesungguhnya, pada yang demikian
itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi adalah
kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah
Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (asy-Syu’araa`: 60-68)
Dalam kisah ini, kita diminta untuk memperhatikan
sifat-sifat utama Nabi Musa a.s.. Selama perjuangannya yang sulit, ia
terus-menerus mengingat pertolongan Allah, melihat kebaikan dalam segala hal
yang menimpanya, dan bahwa di saat ujian terberatnya, berusaha untuk
mempercayai Allah dan menjaga kesetiaannya kepada-Nya.