20 November 2013

ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM



A. LATAR BELAKANG
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara di dunia (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat. Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi/menghidupkan perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi, baik kapitalisme maupun sosialisme, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, dan merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, artikel ini akan mengkaji permasalahan etika bisnis dalam ekonomi islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.
B.     KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM
Secara etimologi,Etika (ethics) yang berasal dari bahasa Yunani ethikos yang mempunyai beragam arti. Pertama, sebagai analisis konsep-konsep terhadap apa yang harus, mesti, aturan-aturan moral, benar, salah, wajib, tanggung jawab dan lain-lain. Kedua, aplikasi ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral. Ketiga, aktualisasi kehidupan yang baik secara moral.
Kata bisnis dalam Al-Qur’an biasanya yang digunakan al-tijarah, al-bai’, tadayantum, dan isytara. Tetapi yang seringkali digunakan yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, berawal dari kata dasar t-j-r, tajara, tajran wa tijarata, yang bermakna berdagang atau berniaga. At-tijaratun walmutjar yaitu perdagangan, perniagaan (menurut kamus al-munawwir). Menurut ar-Raghib al-Asfahani dalam al-mufradat fi gharib al-Qur’an, at-Tijarah bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan. Menurut Ibnu Farabi, yang dikutip ar-Raghib, fulanun tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya.
Dalam penggunaannya kata tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah; 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian umum. Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa bisnis dalam Al-Qur’an dari tijarah pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari keuntungan material semata, tetapi bersifat material sekaligus immaterial, bahkan lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah swt, bahwa bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan perjanjian-perjanjian, bisnis juga  tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan, kebohongan, hanya karena memperoleh keuntungan.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa etika merupakan perangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar dari apa yang salah, sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang melibatkan pelaku bisnis.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, Etika bisnis adalah norma-norma atau kaidah etik yang dianut oleh bisnis, baik sebagai institusi atau organisasi, maupun dalam interaksi bisnisnya dengan stakeholdersnya. Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika bisnis secara umum menjelaskan orientasi terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
Dengan demikian, bisnis dalam islam memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah swt. Bisnis tidak hanya bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan social, masyarakat, Negara dan Allah swt. Dasar hukum dari hal tersebut bisa kita lihat dalam QS. Al Baqarah : 282, An Nisa' : 29, At Taubah : 24, An Nur : 37, As Shaff : 10.
C.    FUNGSI DAN TUJUAN ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Dalam hal ini, etika bisnis islam adalah merupakan hal yang penting dalam aktivitas bisnis. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, diantaranya yaitu :
1.   Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2.   Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT.
3.   Kode etik harapanya bisa digunakan sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4.   Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.
D.    BEBERAPA TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
1.   Etika Dalam Perspektif Barat Dalam sistem etika Barat, ada tiga teori etika yang akan dibahas, antara lain :
a.       Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama,  konsep Utility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Yang kedua, yaitu teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice) atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar keadilan. Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga konsep ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya, kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antara anggota masyarakat. 

b.      Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan "hasil" atau "konsekuensi" seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik. 
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yang pertama yaitu Teori Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan. Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam. 
c.       Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1)      Personal Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan individu.
2)      Ethical Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah yang bersangkutan.

3)      Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya menjadi. 
4)      Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
5)      Teori Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2.      Etika Bisnis dalam Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan "Akal" sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan "Al-Qur'an" sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
a.       Teleologi Utilitarian merupakan teori yang memandang hak individu dan kelompok adalah penting dan tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b.      Distributive Justice adalah toeri yang mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada pada harta orang kaya.
c.       Deontologi adalah teori tentang niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal. Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik, maka tetap tidak baik.
d.      Eternal Law dalam Islam yaitu Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah.
e.       Relativisme dalam Islam yaitu perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f.       Teori Hak dalam Islam yaitu menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima. Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.  
E.     KETENTUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1.      Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana tertera dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.      Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang beriman’ hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3.      Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tidak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4.      Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis.
5.      Kebenaran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan.


F.     PANDUAN RASULULLAH DALAM ETIKA BISNIS
Rasululah SAW sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah:
1.   Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam ajaran Islam, kejujuran merupakan syarat paling mendasar dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam hal ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
2.   Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
3.   Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
4.   Ramah-tamah. Seorang pelaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw  mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi).
5.   Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli).
6.   Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih).
7.   Tidak melakukan ihtikar/menimbun. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh).
8.   Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112).
9.   Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”.
10.  Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
11.  Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis yang membenarkan monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
12.  Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras.
13.  Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir).
14.  Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29).
15.  Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim).
16.  Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim).
 G.    Kesimpulan
Dari artikel diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa dalam berbisnis harapanya bisa menerapkan prinsip-prinsip etika dalam islam, seperti kejujuran, kesadaran tentang signifikansi sosial, tidak melakukan sumpah palsu, ramah-tamah, tidak berpura-pura menawar dengan harga tinggi, tidak boleh menjelekkan bisnis orang, takaran yang pas, tidak menggangu kegiatan ibadah kepada Allah, membayar upah sebelum kering keringat karyawan, tidak monopoli, tidak melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan social, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan, menyegerakan melunasi kredit yang menjadi kewajibannya, memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar, bersih dari unsur riba. Dari hal tersebut kita juga perlu memperhatikan ketentuan umum berbisnis dalam ekonomi islam, yaitu Kesatuan (Tauhid/Unity), Keseimbangan (Equilibrium/Adil), Kehendak Bebas (Free Will), Tanggungjawab (Responsibility), Kebenaran.
Semua yang ada didunia ini tidak ada yang bisa terlepas dari muara atas kekuasaan Allah SWT. Yang mana setiap perbuatan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, harapanya bisa didasari atas mencari keridhoan Allah semata. Seperti dikatakan Ghazali, “bahwa dunia hanyalah kendaraan semata. Jangan sampai karena indahnya aksesori  kendaraan, tujuan perjalanan (akhirat) menjadi terlupakan“.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama RI. 1985
Ahmad, Mustaq Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar)2001.
Dani hidayat, bulughul marom min adilatil akhkam (tasikmalaya : pustaka al hidayah) 2008
Http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/etika-bisnis-dalam-islam.html.
Ilyas ismail, Buletin jum’at Hidayah,  edisi 328 16 Nopember 2012
Sofyan Efendi. Hadits web. (Yogyakarta, 22 September 2011, pukul 19.00 WIB)